REPUBLIKA.CO.ID, PANGANDARAN -- Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengeluarkan peringatan dini gelombang tinggi untuk sejumlah wilayah perairan di Indonesia pada 15-17 Juli 2022. Dalam peringatan dini itu, perairan selatan Jawa merupakan salah satu wilayah yang berpotensi terjadi gelombang setinggi 4 meter hingga 6 meter.
Kepala Pelaksana Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Kabupaten Pangandaran, Kustiman, mengatakan, gelombang tinggi telah terjadi di daerahnya sejak awal Juli 2022. Selain gelombang tinggi, kondisi cuaca di Kabupaten Pangandaran juga masih sering terjadi hujan.
"Namun secara keseluruhan situasi masih kondusif," kata dia saat dikonfirmasi Republika, Jumat (15/7/2022).
Kendati situasi masih kondusif, BPBD Kabupaten Pangandaran sudah memberikan imbauan kepada nelayan untuk lebih berhati-hati ketika hendak melaut. Sebab, gelombang tinggi yang terjadi saat ini bisa membuat potensi kecelakaan laut makin besar.
"Kami kan tidak mau ada kejadian tak diinginkan. Makanya, nelayan diimbau lebih hati-hati lagi," kata Kustiman.
Ihwal aktivitas pariwisata, dia menilai, sejauh ini masih dalam situasi aman. Namun, wisatawan yang bermain di pantai dininta tetap mematuhi rambu-rambu keselamatan yang sudah ada.
Ketua Taruna Siaga Bencana (Tagana) Kabupaten Pangandaran, Nana Suryana, mengatakan, saat ini memang sedang terjadi gelombang tinggi. Menurut dia, gelombang tinggi itu merupakan peristiwa biasa, bukan sesuatu yang darurat dan perlu evakuasi.
"Itu merupakan siklus musiman. Apalagi sekarang masih masuk pancaroba," ujar dia.
Dia menilai, saat ini aktivitas nelayan masih cenderung normal. Bahkan, saat ini sudah mulai memasuki musim ikan, sehingga banyak nelayan yang berangkat melaut.
Meski begitu, pihaknya tetap memberikan peringatan agar para nelayan lebih waspada. "Kami sudah memberikan sosialisasi agar nelayan tetap waspada," kata Nana.
Ihwal aktivitas pariwisata, ia menyebutkan, saat ini tetap berjalan seperti biasa. Ia juga meminta masyarakat tak perlu khawatir, lantaran kondisi masih kondusif.
Aktivitas nelayan terpengaruh
Salah satu nelayan di Desa Batukaras, Kecamatan Cijulang, Kabupaten Pangandaran, Ujang (37 tahun), menilai, adanya gelombang tinggi tentu mempengaruhi aktivitas nelayan. Menurut dia, mayoritas nelayan di Batukaras tidak melaut pada hari ini karena kondisi tak memungkinkan untuk berlayar.
"Saya tidak bisa melaut baru hari ini sampai 17 Juli, seusai prediksi BMKG. Kalau dipaksa mah rawan, takut kecelakaan. Kami mending antisipasi saja," kata dia.
Dia mengakui, ada sebagian nelayan dari Batukaras yang tetap berangkat melaut. Berdasarkan pengamatannya, terdapat dua perahu nelayan yang pergi melaut hari ini. Namun, para nelayan itu menggunakan perahu besar. "Kalau perahu kecil mah tidak bisa melaut," kata Ujang.
Perahu besar yang dimaksud Ujang adalah perahu yang memiliki lebar sekitar 1,35 meter hingga 1,5 meter. Sementara mayoritas perahu neyalan di Batukaras adalah perahu kecil, dengan lebar sekitar 1,1 meter.
"Kami yang perahu kecil mah nunggu laut reda saja. Soalnya gelombang di sini sampai 1,5 meter," ujar dia.
Selama tidak melaut, para neyalan di Batukaras biasanya akan memperbaiki sejumlah peralatan yang rusak, seperti memperbaiki jaring ikan atau perahu yang bocor. Sementara sebagian nelayan lainnya ada yang beralih profesi sementara wakru sambil menunggu laut reda.
Di Desa Legokjawa, Kecamatan Cimerak, Kabupaten Pangandaran, aktivitas nelayan bahkan berhenti total sejak sepekan terakhir. Gelombang tinggi yang terjadi di wilayah itu membuat nelayan menahan diri untuk melaut.
Ketua Rukun Nelayan Desa Legokjawa, Uhan, mengatakan, terjadinya gelombang tinggi otomatis memengaruhi aktivitas nelayan. Menurut dia, nelayan di desanya sudah tidak ada yang berani melaut sejak sepekan terakhir.
"Semua tidak ada yang melaut di sini. Karena mau maksa melaut susah mau berangkatnya. Penangkapan ikan juga susah karena angin kencang," kata dia.
Alhasil, mayoritas nelayan di wilayah itu banyak yang menganggur saat kondisi laut tidak bersahabat. Sebagian nelayan lainnya ada yang tetap beraktivitas dengan memperbaiki bagian kapal yang mulai rusak.
Sementara di Legokjawa, tempat pendaratan perahunya berada di pantai yang berhadapan dengan laut kepas. Alhasil, nelayan kesulitan berangkat melaut ketika gelombang tinggi.