REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Pengacara dari Inspektur Jenderal Polisi Teddy Minahasa, Hotman Paris Hutapea menyebut, perintah kliennya kepada Ajun Kombes Doddy Prawiranegara menyisihkan sebanyak lima kilogram barang bukti (barbuk) narkoba jenis sabu, tidak lain untuk pancingan atau umpan. Namun, justru sabu itulah yang membuat klienya diduga terlibat peredaran narkoba.
Selain itu, Hotman juga menyebut, bahwa langkah yang dilakukan kliennya sudah sesuai prosedur. Bahkan, menurutnya, praktik tersebut sudah lumrah.
Lalu Teddy juga disebutnya tak pernah menyentuh bahkan melihat langsung sabu tersebut. Sehingga barang haram itu sepenuhnya di bawah pengawasan Doddy saat menjabat mantan Kapolres Bukittinggi.
"Itu katanya sudah praktik begitu, SOP-nya begitu, untuk undercover," ungkap Hotman Paris, Senin (24/10).
Lanjut Hotman, sabu itu tidak hanya untuk pancingan, tapi juga disisihkan untuk barang bukti para tersangka di pengadilan nantinha. Namun pada tanggal 28 September 2022, kliennya memerintahkan Doddy menarik sabu lima kg itu. Hal itu dilakukan karena Teddy mencium adanya kejanggalan.
"Tapi kok tiba-tiba sudah ada yang terjual, katanya sudah ada yang terjual 1 kilogram. Bahkan, yang lebih anehnya lagi beberapa saat kemudian ada 2 kilogram sudah ada di Linda. Jadi disini diduga ada konspirasi antara Linda sama Kapolres ini," jelas Hotman Paris.
Pengungkapan kasus peredaran gelap narkoba yang melibatkan polisi berpangkat Irjen ini berawal pengembangan kasus oleh tim dari Polres Jakarta Pusat dan Polda Metro Jaya yang menangkap sejumlah petugas polisi terkait peredaran narkoba. Kemudian hasil pengembangan bermuara pada Irjen Teddy, pada saat itu menjabat sebagai Kapolda Sumatera Barat.
Akibat perbuatannya, tersangka dijerat Pasal 114 ayat 3 sub Pasal 112 ayat 2 jo Pasal 132 ayat 1 jo asal 55 UU Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika dengan ancaman maksimal hukuman mati dan minimal 20 tahun penjara.