REPUBLIKA.CO.ID, KARAWANG -- SMAN 1 Cikampek merupakan salah satu sekolah di lingkungan Cabang Dinas Pendidikan (Cadisdik) IV Jawa Barat yang berkomitmen menghapus aksi perundungan. Perundungan dikategorikan dalam tiga dosa besar pendidikan yang harus dientaskan, selain kekerasan seksual dan intoleransi.
SMAN 1 Cikampek telah ditunjuk menjadi salah satu sekolah penggerak pada 2021. Sejak itu, SMAN 1 Cikampek mulai menerapkan sejumlah strategi untuk menyikapi tiga dosa besar pendidikan. Strategi itu berlaku ketika siswa di dalam maupun di luar lingkungan sekolah.
Kepala SMAN 1 Cikampek Agus Setiawan mengatakan, strategi pertama yaitu membentuk tim yang solid, dan memiliki pandangan, visi, serta kesepahaman yang sama terkait tiga dosa besar pendidikan.
"Tim dibentuk dari guru-guru yang punya care (kepedulian) dan kapabilitas mencegah itu, termasuk melibatkan siswa berpengaruh di antara teman-temannya," ujar Agus Setiawan.
Setelah tim terbentuk, lalu menggelar sosialisasi yang ditujukan kepada orang tua, stakeholders, dan peserta didik. Selanjutnya, semua pihak terkait diminta membuat pernyataan komitmen bersama, deklarasi, hingga kampanye. Usai deklarasi dilakukan penandatanganan pakta integritas bersama.
"Semua upaya itu direkam dalam bentuk video, kemudian diunggah ke berbagai platform, di YouTube dan media sosial lainnya," tambahnya.
Kata Agus, hadirnya ruang konsultasi sangat penting. Menurut dia, ruang konsultasi harus membuat peserta didik merasa aman dan nyaman, sehingga sekecil apa pun permasalahan bakal terungkap. Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, disebutkan siapa pun yang melihat praktik kekerasan terhadap anak, wajib memberikan perlindungan dan rasa aman.
Agus memaparkan, tiga dosa besar pendidikan ini bisa saja terjadi antara siswa dengan siswa, siswa terhadap guru, guru terhadap siswa atau bahlan guru dengan guru. Oleh karena itu, potensi itu harus dikikis oleh seluruh pihak.
Strategi terakhir, yakni konsentrasi menjaga budaya 3A, yakni anti-perundungan, anti-kekerasan seksual, dan anti-intoleransi. Dengan begitu, tiga dosa besar pendidikan itu dapat ditekan, bahkan dihapuskan.
Guna memperkuat program tersebut, pihaknya telah memiliki 45 peserta didik yang didapuk menjadi agen anti-perundungan, agen anti-kekerasan seksual dan agen anti-intoleransi. Agen-agen tersebut merupakan perwakilan dari setiap kelas yang direkrut sesuai dengan kriteria.
Adapun kriteria agen perubahan ini, yaitu peserta didik yang memiliki jiwa kepemimpinan dan berpengaruh di lingkungan sekolah. Artinya, bisa saja siswa yang paling nakal dan gemar bolos. "Biasanya orang yang paling bangor (nakal) dan suka bolos itu punya pengaruh juga di mata teman temannya,’’ tambahnya.
Mereka direkrut dan dibekali pelatihan-pelatihan, sehingga yang tadinya berperilaku negatif menjadi positif. Dengan cara begitu, Agus bersyukur karena tidak ada lagi perundungan di SMAN 1 Cikampek. Bahkan, dia meyakinkan, di luar sekolah sekalipun tidak ada lagi kasus perundungan yang melibatkan siswanya. "Alhamdulillah, dari strategi yang telah kami lakukan, tidak ada lagi kasus perundungan," kata Agus.
Kepala Cabang Dinas (KCD) Wilayah IV Jabar Ai Nurhasan mengatakan, upaya menghapuskan tiga dosa besar pendidikan harus dilakukan secara bertahap. Menurutnya, aspek paling dasar dalam mengantisipasi persoalan tersebut adalah kurikulum.
Dia menilai, kurikulum Merdeka Belajar yang sudah mulai diterapkan sangat tepat dalam upaya menghapuskan tiga dosa besar pendidikan. ‘’Di dalam kurikulum Merdeka Belajar, wajib ada praktik karena basis project tadi. Anti-bullying, antikekerasan seksual, termasuk intoleransi,’’ katanya.
Pihaknya juga sudah mewajibkan setiap sekolah yang belum menerapkan kurikulum Merdeka Belajar, untuk segera melakukan penyesuaian. Menurut Ai, pembenahan sistem melalui kurikulum Merdeka Belajar menjadi langkah awal yang sangat penting.
‘’Artinya, dari aspek substansinya sudah clear karena sekolah berjalan dalam keseharian basisnya kurikulum Merdeka. Kalau kurikulumnya belum, ya enggak mungkin implementasinya bisa lebih sistematis," tutur dia, seraya mengatakan bahwa sekolah harus melakukan stimulasi percepatan penerapan kurikulum Merdeka Belajar.
Dia meyakinkan, melalui kurikulum Merdeka Belajar, pendekatan belajar yang selama ini berbasis tatap muka bisa berubah menjadi berbasis project. Dengan demikian, siswa dapat lebih kreatif dan implementatif.
Langkah terakhir yang dilakukan adalah membuat semacam lomba. Rencananya, di Desember (2022) mendatang akan diadakan lomba inovasi dan kreativitas sekolah dalam penerapan kurikulum Merdeka Belajar. ‘’Kita akan gebyarkan dalam rangka mendorong dan menginspirasi sekolah lain agar mengikuti kurikulum terbaru,’’ sebutnya.
Pihaknya juga membentuk Satgas Anti-Kekerasan Pelajar. Di dalam Satgas tersebut terdiri dari berbagai unsur, dari mulai aktivis pendidikan hingga aparat Kepolisian dan TNI.
"Kita membentuk satgas anti kekerasan pelajar, ini sudah terkoneksi dimana di dalamnya ada tim inti dari para aktivis pendidikan yang bersedia, kemudian anggotanya adalah para guru BK, dan Wakasek Kesiswaan dan terkoordinasi dengan aparat Kepolisian dan TNI. Sehingga satgas ini cukup efektif melakukannya dengan pola lintas instansi,’’ katanya.
Pasalnya, lanjut dia, kekerasan di lingkungan pelajar ini mencakup dua jenis. Yang pertama kekerasan yang dilakukan oleh perorangan atau kelompok kecil berupa perundungan atau bullying. Yang kedua adalah kekerasan yang sifatnya luas, yaitu tawuran atau pengeroyokan yang dilakukan antarpelajar.
Hal ini tidak terlepas dari keterbukaan informasi, termasuk media sosial, yang menyajikan perilaku kekerasan yang seharusnya tidak ditonton. Dengan adanya satgas anti kekerasan pelajar ini, bisa mendeteksi dini perilaku pelajar yang menjurus kepada kekerasan.
‘’Kita punya jejaring medsos para siswa, sehingga kita betul-betul mengantisipasi manakala ada gelagat atau upaya untuk tawuran dan perilaku kekerasan lainnya,’’ ujarnya.
Keberadaan satgas itupun cukup membantu aparat dalam mendapatkan informasi dini tentang perilaku siswa, sehingga bisa segera diantisipasi. Hasinya luar biasa, dari tahun ke tahun kasus tawuran semakin menurun, kemudian laporan dari perilaku bullying di sekolah juga sudah jauh menurun," tegasnya.
Kepala Dinas Pendidikan (Kadisdik) Jabar Dedi Supandi mengatakan, soal perundungan adalah permasalahan yang tidak bisa dianggap remeh. Pihaknya menegaskan, akan terus mendorong penerapan ramah anak di seluruh sekolah.
Berdasarkan data, persentase penerapan sekolah ramah anak di SMA sudah mencapai 68 persen, dan di SMK masih di angka 28,23 persen ‘’Pengawas sekolah juga akan terlibat dalam keberlangsungan sekolah ramah anak ini,’’ ujar Dedi.
Dedi menambahakan, sekolah ramah anak bukan hanya berkaitan dengan bersih, indah, dan aman, namun juga harus inklusif. Dedi meminta seluruh kepala sekolah, untuk bisa meningkatkan pengawasan kepada muridnya.
Karena, menurut Dedi, salah satu waktu yang dihabiskan cukup lama oleh siswa, adalah di sekolah. Siswa menghabiskan waktu sekitar delapan jam di sekolah. ADV