REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Mantan Hakim Konstitusi Jimly Asshiddiqie menegaskan, wacana soal perpanjangan isu presiden saat ini seharusnya tidak lagi dilakukan. Apalagi, hal itu, disampaikan oleh para pejabat tinggi di negeri ini, maka sebaiknya wacana itu disetop.
"Isu perpanjangan jabatan Presiden, menunda pemilu, kemungkinan Jokowi jadi cawapres sudah terlalu lama dibahas sebagai ilusi tidak nyata. Sebaiknya disetop saja, jangan habiskan waktu dibahas lagi," kata Jimly dalam pernyataannya di akun Twitter miliknya, Jumat (9/12/2022).
Komentar Jimly ini menanggapi kembali mencuatnya wacana perpanjangan jabatan Presiden Joko Widodo oleh Ketua MPR Bambang Susatyo dan menunda melaksanakan pemilu 2024. Menurut Jimly, pernyataan itu tidak tepat, apalagi keluar dari pejabat tinggi negara.
"Semua itu terlarang, tidak mungkin dan pasti tidak akan terjadi. Karena proses menuju pemilu 2024 sudah jalan, ikuti saja dengan tertib," katanya menegaskan.
Selain Ketua MPR RI Bambang Susatyo, ternyata Ketua DPD RI La Nyala Mattaliti juga menyampaikan hal yang sama. Bahkan sebelumnya tafsir serupa juga disampaikan oleh Juru Bicara Mahkamah Konstitusi (MK) yang akhirnya mendapat banyak kritik dari berbagai pihak.
Jimly yang juga mantan Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu ini menjelaskan, di Pasal 7 UUD 1945, jabatan presiden dan wakil presiden itu satu kesatuan. Jadi, dia mengingatkan, membaca konstitusi itu level pertama, membaca harfiah atau leterlek(Letterlijk). Bunyi harfiahnya, presiden hanya boleh dua periode. Dan pada perubahan pertama di 1999 itu aturannya ketat sekali.
Jadi bunyinya, "Presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama lima tahun. Dan sesungguhnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama 'hanya', untuk satu kali masa jabatan. Jadi hanya boleh untuk dua kali periode."
Dari situ, sebut Jimly, maka presiden dan wakil presiden itu satu paket. Karena itu, di periode ketiga presiden dan wapres itu, mutlak tidak boleh maju lagi, mau dia sebagai capres atau mau sebagai cawapres, itu tetap tidak boleh. "Karena capres-cawapres itu satu paket," tegasnya.
Jadi kalau ada kasus presidennya meninggal wapres harus naik jadi presiden. Jadi, wapres itu harus sudah siap jadi presiden apabila presidennya meningal, berhenti dan diberhentikan di tengah jalan.
Contohnya, kata Jimly, ketika sesudah satu Minggu dilantik jadi presiden, pada awal bulan Oktober dilantik dan akhir Oktober presidennya meninggal, maka wapres harus menggantikan sebagai presiden.
Maka, lanjut dia, wapres yang jadi presiden itu terkena juga ketentuan Pasal 7 UUD 1945, tidak boleh menduduki jabatan yang sama untuk ketiga kalinya. Dia hanya bisa satu kali masa jabatan, jadi ketika menduduki jabatan presiden di dipilih lagi untuk jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.
Maka level pembacaan kedua, dari Pasal 7 itu bukan harfiah leterlek(Letterlijk), tapi kontekstual sistem. Jadi, jelas Jimly, membacanya dengan sistematik interpretasi, jadi penafsirannya juga jangan hanya leterlek tadi.
"Jangan seperti ini. Loh di posisi wakil presiden boleh dong, kan yang tidak dibolehkan di jabatan yang sama. Kan beda wakil presiden dan presiden," imbuhnya.
Memang berbeda, tapi kalau ada halangan seperti meninggal presidennya, Jimly menyebut, maka wakilnya yang jadi presiden. Jadi itulah yang ia sebut sebagai paket. Dan dia ketika sudah jadi presiden juga tidak boleh dicalonkan lagi.
Sehingga apa yang disampaikan Jubir MK itu jelas salah dan keliru. Sudah bukan kewenangannya terus dia salah lagi menafsirkannya.
"Jadi saya imbau masyarakat, jangan jadikan referensi perkataan Jubir MK yang ngawur itu," jelas Jimly.
Dengan demikian, dia ingin mempertegas, bahwa posisi Presiden Joko Widodo sesuai Pasal 7 UUD 1945 ketika habis dua periode ini, tidak bisa dicalonkan lagi. Presiden Jokowi akan berakhir di 20 Oktober 2024.
"Dia tidak boleh jadi presiden lagi dan tidak boleh jadi wakil presiden lagi, titik. Itu aturan konstitusinya tegas begitu," terang Jimly.