Jumat 30 Dec 2022 12:28 WIB

Ini 3 Alasan Sambo Gugat Presiden dan Kapolri ke PTUN... 

Sambo mengatakan, masih memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan keadilan.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Agus Yulianto
Terdakwa Ferdy Sambo (kiri) didampingi penasehat hukumnya mengikuti sidang lanjutan kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Foto: ANTARA FOTO/Reno Esnir
Terdakwa Ferdy Sambo (kiri) didampingi penasehat hukumnya mengikuti sidang lanjutan kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nopriansyah Yosua Hutabarat di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Ferdy Sambo menyampaikan tiga hal yang menjadi pertimbangan dalam mengajukan gugatan terhadap Presiden Joko Widodo (Jokowi), dan Kapolri Listyo Sigit Prabowo ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) terkait pemecatan dari anggota Polri. Melalui kuasa hukumnya, Sambo mengatakan, dirinya masih memiliki hak konstitusional untuk mendapatkan keadilan. Pun masih merasa pantas untuk mendapatkan hak pemulihan, serta rehabilitasi nama baik dari institusi kepolisian.  

“Kami memiliki pertimbangan yang cermat serta memperhatikan ruang hukum yang tersedia bagi kami, untuk dapat mengajukan gugatan terkait keputusan PTDH (Pemberhentian Tidak Dengan Hormat-dipecat) yang dijatuhkan kepada kami,” begitu kata Sambo melalui Pengacara Arman Hanis kepada wartawan di Jakarta, pada Jumat (30/12).

Keputusan Komisi Kode Etik Profesi (KKEP) Polri tentang PTDH terhadap Sambo, kata Arman menerangkan, merugikan kliennya. Sehingga, kata Arman, keputusan PTDH tersebut harus dibatalkan.

Arman mengacu pada Pasal 53 ayat (1) UU 5/1986 tentang PTUN yang memberikan hak kepada setiap warga negara, yang merasa dirugikan atas satu keputusan TUN. “Sehingga ada ruang yang disediakan oleh negara, untuk melakukan upaya hukum dalam memastikan hak setiap warga negara untuk memperoleh keadilan, tanpa memandang siapa, dan dari golongan apa dia berasal,” ucap Arman. 

Arman menyampaikan, sejumlah alasan mengapa PTDH terhadap mantan Kadiv Propam Polri tersebut, harus dibatalkan. Sambo, kata Arman menerangkan, adalah anggota Polri yang sudah menjalani pengabdian selama 28 tahun. 

Selama menjalani pengabdian sebagai anggota kepolisian, kata Arman meyakinkan, kliennya adalah salah satu personel kepolisian terbaik yang melajukan kariernya secara cakap, profesional, dan bertanggung jawab, sampai pada kepangkatakan Inspektur Jenderal (Irjen). Bukti kecakapan, dan profesionalitas tersebut, kata Arman, dibuktikan dengan ragam penghargaan kehormatan yang didapat Sambo dari institusi kepolisian.

“Atas beragam pencapaian tersebut, klien kami Ferdy Sambo menerima 11 tanda kehormatan sebagai anggota kepolisian, dari pemimpin Polri,” ujar Arman. 

Pertimbangan lainnya, PTDH tersebut, terbilang tergesa-gesa dan dilakukan atas dasar tekanan, dan tak independen. Pun, dilakukan tanpa memberikan ruang bagi Sambo untuk memilih menanggalkan sendiri profesi dan kepangkatannya melalui pengunduran diri. 

Padahal, dikatakan Arman, Sambo, sebagai anggota Polri, pada 22 Agustus 2022 sudah mengajukan pengunduran dirinya demi proses penyidikan terkait kasus pidana yang menyeret nama dan kepangkatannya. “Namun permohonan pengunduran diri tersebut, tidak diproses, dan tidak dipertimbangkan oleh Polri,” kata Arman. 

Pengabaian atas hak mengundurkan diri dari Polri tersebut, dikatakan Arman, membuat keputusan PTDH dari sidang KKEP Polri tersebut bertentangan dengan aturan di internal kepolisian sendiri. Karena, kata Arman menjelaskan, dalam Pasal 111 ayat (1), dan ayat (2) a, dan b Peraturan Polri (Perpol) 7/2022 tentang KKEP menebalkan adanya hak anggota Polri yang dapat mengajukan pengunduran diri sebagai anggota Polri lantaran terancam pemecatan.

“Aturan tersebut dengan pertimbangan terhadap anggota Polri yang memiliki masa dinas paling sedikit 20 tahun, dan yang memiliki prestasi, serta kinerja yang baik, dan berjasa kepada Polri, dan yang belum pernah melakukan pelanggaran,” kata Arman. 

Atas tiga pertimbangan tersebut, kata Arman, tim penasehat hukum, dan Sambo setuju mengambil jalur hukum administratif ke PTUN untuk membatalkan keputusan KKEP terkait dengan pemecatan sebagai anggota Polri tersebut.

“Kami sangat sadar, bahwa klien kami ini (Ferdy Sambo) sedang berhadapan dengan proses hukum yang berat. Namun kami juga berharap, negara, dapat mempertimbangkan jasa dan pengabdian dari klien kami terhadap negara, dan kepolisian,” begitu terang Arman. 

Ferdy Sambo menggugat Presiden Joko Widodo (Jokowi), dan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo ke PTUN Jakarta, Kamis (29/12). Gugatan itu diajukan sebagai langkah perlawanan hukum atas pemecatan Sambo dari anggota Polri. Mengacu laman PTUN Jakarta, Sambo meminta hakim TUN mengabulkan empat permohonan gugatannya. 

Paling penting dari gugatannya itu terkait dengan pembatalan Keputusan Presiden (Keppres) 71/POLRI/2022 tentang Pemberhentian Tidak Dengan Hormat Perwira Tinggi Polri.

Keppres yang diterbitkan 26 September 2022 itu, sebagai eksekusi atas putusan KKEP tentang pemecatan Sambo. “Menyatakan batal atau tidak sah keputusan Tergugat I dan Tergugat II (Presiden dan Kapolri) sebagaimana Keppres 71/POLRI/Tahun 2022,” begitu salah satu isi gugatan Sambo. 

Gugatan lainnya, Sambo juga meminta hakim TUN untuk mengembalikan hak, martabat, dan jabatannya sebagai anggota kepolisian. “Memerintahkan Tergugat I dan Tergugat II untuk menempatkan dan memulihan kembali semua hak-hak penggugat sebagai anggota Polri,” kata Sambo.

Ferdy Sambo dipecat dari Polri lewat dua kali sidang KKEP. KKEP pertama pada Jumat (26/8) yang dipimpin oleh Komisaris Jenderal (Komjen) Ahmad Dofiri. Dan KKEP Banding, pada Senin (19/9) yang dipimpin Komjen Agung Budi Maryoto. 

Dua putusan KKEP tersebut, saling menguatkan pemecatan terhadap Sambo sebagai anggota Polri. Putusan pemecatan tersebut, karena Sambo terbukti melakukan pelanggaran etika dan disiplin berat, serta melakukan perbuatan tercela.

Yaitu terkait dengan status hukum Sambo sebagai tersangka kasus pembunuhan berencana terhadap ajudannya, Brigadir Nofriansyah Yoshua Hutabarat (J). Dalam kasus tersebut, Sambo juga terbukti melakukan pelanggaran berat karena dengan pangkat dan jabatannya memberikan perintah pembunuhan. Serta melakukan pengerahan personelnya untuk melakukan praktik obstruction of justice, atau perintangan penyidikan kasus kematian Briagdir J yang terjadi di rumah dinas Komplek Polri Duren Tiga 46 di Jakarta Selatan (Jaksel), Jumat (8/7). 

Perintangan penyidikan tersebut, berupa pembuatan skenario palsu untuk menutupi kasus pembunuhan tersebut. Juga melakukan sabotase berupa pengambilan paksa alat bukti, dan perusakan alat bukti. Setelah dipecat dari Polri, kini Sambo menjalani proses persidangan pidana sebagai terdakwa pembunuhan berencana. Dalam kasus pidana berat tersebut, Sambo satu paket dengan isterinya Putri Candrawathi sebagai terdakwa. Juga bersama dua ajudannya, Bharada Richard Eliezer (RE), dan Bripka Ricky RIzal (RR), serta pembantunya Kuat Maruf (KM) sebagai terdakwa.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement