Senin 02 Jan 2023 07:46 WIB

Nasdem Tegaskan Penggugat UU 7/2015 Bukan Kader

Yuwono Pintadi tidak mempunyai hak mengklaim Partai Nasdem.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Agus Yulianto
Ketua DPP Partai Nasdem, Willy Aditya.
Foto: istimewa
Ketua DPP Partai Nasdem, Willy Aditya.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Politisi Yuwono Pintadi melakukan gugatan terhadap Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2015 tentang Sistem Pemilu Proporsional Terbuka menjadi Tertutup ke Mahkamah Konstitusi (MK). Namun, status Yuwono belakangan dipertanyakan.

Ketua DPP Partai Nasdem, Willy Aditya menyatakan, status keanggotaan dari Yuwono Pintadi yang melakukan uji materi UU 7/2015 tentang Pemilu ke MK tersebut sudah berakhir sejak 2019 lalu. Artinya, ia menegaskan, gugatan itu bersifat pribadi.

"Gugatan tersebut sifatnya pribadi bukan atas nama Partai Nasdem," kata Willy, Ahad (1/1).

Dia menekankan, jika ada hal-hal strategis dan politis secara garis partai jelas menolak sistem pemilu proporsional tertutup. Karenanya, jika ada yang mencatut Nasdem atas kepentingan individu tertentu jelas ini melanggar kebijakan partai.

Willy menjelaskan, pasca-Kongres II Partai Nasdem 2019, kebijakan DPP terkait keanggotaan partai sudah semua terdigitalisasi. Ini sudah tertuang dalam Surat Edaran DPP Partai Nasdem tentang Migrasi Keanggotaan Partai Nasdem ke E-KTA.

Dalam surat edaran tersebut diperintahkan semua kader melakukan registrasi ulang di tahun 2019 pada sistem digital keanggotaan Partai NasDem atau E-KTA. Bagi kader yang tidak melakukan registrasi ulang tersebut dianggap mengundurkan diri.

Sehingga, lanjut Willy, tidak tercatat dalam sistem keanggotaan partai. Artinya, Yuwono Pintadi bukan lagi kader Partai Nasdem karena tidak patuh terhadap surat edaran tersebut. Maka itu, Yuwono tidak mempunyai hak mengklaim Partai Nasdem.

Termasuk, dalam gugatan uji materiil ke MK terkait sistem pemilu proporsional terbuka menjadi tertutup yang dilakukan. Willy menjelaskan, bagi Partai Nasdem sistem proporsional terbuka adalah bentuk kemajuan dalam praktik berdemokrasi.

Sistem proporsional terbuka merupakan antitesis dari sistem yang sebelumnya, yakni sistem proporsional tertutup. Proporsional terbuka memungkinkan beragam latar belakang sosial seseorang untuk bisa terlibat dalam politik elektoral.

"Dengan sistem semacam ini pula, warga bisa turut mewarnai proses politik dalam tubuh partai," ujar Willy. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement