Rabu 11 Jan 2023 22:12 WIB

ERP Bertentangan dengan Konsep Barang Jalan Publik

Penerapan ERP dinilai hanya menggeser titik kemacetan.

Rep: Eva Rianti/ Red: Karta Raharja Ucu
Sejumlah kendaraan melintas dibawah alat sistem jalan berbayar elektronik di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menerapkan kebijakan jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP) di 25 ruas jalan Ibu Kota dengan usulan tarif sebesar Rp 5.000 hingga Rp 19.000 sekali melintas untuk mengendalikan mobilitas warga DKI Jakarta.
Foto: Republika/Putra M. Akbar
Sejumlah kendaraan melintas dibawah alat sistem jalan berbayar elektronik di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta, Rabu (11/1/2023). Pemerintah Provinsi DKI Jakarta akan menerapkan kebijakan jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP) di 25 ruas jalan Ibu Kota dengan usulan tarif sebesar Rp 5.000 hingga Rp 19.000 sekali melintas untuk mengendalikan mobilitas warga DKI Jakarta.

REPUBLIKA.CO.ID, TANGERANG SELATAN --  Rencana Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menerapkan jalan berbayar atau Electronic Road Pricing (ERP) di puluhan ruas jalan Ibu Kota, ditanggapi dingin sejumlah warga di Kota Tangerang Selatan (Tangsel) yang bekerja di Jakarta. Ada sejumlah alasan tidak setuju ERP diterapkan, salah satunya karena menilai bertentangan dengan konsep barang adalah jalan publik.

Alasan penolakan lainnya adalah karena rencana penerapan ERP belum diimbangi dengan transportasi publik yang tidak memadai. Selain itu ERP juga dinilai hanya akan menggeser titik kemacetan. “Soal ERP ini tentu aku tidak setuju ya sebagai warga kota satelit. Hal ini karena, pertama, adanya ERP tentu akan mempersulit kita mengakses Kota Jakarta, sebab belum ada moda transportasi yang efisien waktu dan biaya serta terintegrasi untuk menghubungkan Jakarta dan kota satelit,” kata Eti Setyarini (31 tahun) salah satu warga Bintaro, Tangsel kepada Republika.co.id, Rabu (11/1/2023).

Sejauh ini menurut Eti, transportasi publik memakan waktu lebih banyak dan ongkosnya mahal karena harus melanjutkan perjalanan dengan menggunakan transportasi ojek online. Sementara itu, jika menggunakan kendaraan pribadi, terutama sepeda motor cenderung lebih cepat dan lebih murah.

“Kedua, ERP juga memaksa kita untuk mengeluarkan biaya transportasi yang lebih banyak karena harus bayar ERP kalau mau lewat,” tutur perempuan yang berkantor di wilayah Jakarta Pusat tersebut.  

Alasan ketiga, menurut Eti, ERP bertentangan dengan konsep bahwa jalan merupakan barang publik atau public good. Sehingga seharusnya peruntukannya adalah untuk masyarakat secara umum tanpa adanya pengecualian.

“Menurutku, karena jalan raya itu dibangun dari APBN/ APBD ya seharusnya penggunaannya untuk masyarakat luas, bukan dibatasi bagi yang mampu bayar saja. Karena kalau dibatasi gitu jadinya excludable (dikecualikan) kayak private good,” ungkapnya.

Geser Titik Kemacetan

Ketika disinggung terkait dengan tujuan pemberlakuan ERP adalah untuk mengurangi tingkat kemacetan, Eti menyampaikan pandangan yang empiris mengenai hal itu. Dia menyebut mengurangi kemacetan bukan merupakan kebijakan parsial, melainkan kebijakan yang komprehensif dan sinergi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah.

Sementara itu, dia menilai hingga saat ini belum terlihat niatan dari pemerintah pusat untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi. Di antaranya berkaca dari adanya insentif pembelian kendaraan listrik dan mendorong penjualan mobil pada masa pandemi dengan memberi diskon PPnBM (pajak penjualan barang mewah).

“Kalau kondisi kayak gitu paling kalau Pemerintah Provinsi DKI Jakarta kekeuh menerapkan ERP dengan alasan buat mengurangi kemacetan, paling pada akhirnya ya cuma geser kemacetan ke jalan-jalan yang enggak berlaku ERP,” terangnya.  

Senada, Kiki (30), salah satu warga Rawabuntu, Serpong, Tangsel yang kerap menggunakan sepeda motor ke tempat kerjanya di Jakarta tak setuju dengan penerapan ERP. Ia menanggapi alasan menerapkan ERP untuk mengurangi kemacetan dengan skeptis.

Terlebih, baginya, transportasi publik dari tempat tinggalnya belum memadai untuk menuju tempat kerjanya di Jakarta Selatan. “Ya pasti sih saya yakin itu bakal bikin kemacetan di jalan yang enggak berbayar. Lagi pula kalau mau pakai transportasi umum agak susah ya, ada biaya-biaya lain,” tuturnya.

Sebagaimana diketahui, Pemprov DKI Jakarta terus berencana menerapkan kebijakan jalan berbayar atau ERP yang telah diwacanakan cukup lama dan kini kembali mencuat. Aturan itu diterapkan di sebanyak 25 ruas protokol Jakarta untuk mengatasi kemacetan lalu lintas.

Namun, penyusunan rancangan peraturan daerah (Raperda) tentang Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik masih menunggu proses lanjutan rapat kerja Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda) DPRD DKI Jakarta terlebih dahulu. Nantinya akan dibawa ke proses berikutnya untuk disetujui di rapat paripurna.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement