Jumat 03 Feb 2023 13:13 WIB

Jabar Urutan Keempat Tingkat Kerawanan Pemilu, Bawaslu Siapkan Antisipasi

Provinsi dengan tingkat kerawanan pemilu tertinggi adalah DKI Jakarta.

Rep: Arie Lukihardianti / Red: Agus Yulianto
Launching Indeks kerawanan pemilihan serentak 2024 yang digelar Bawaslu Jabar.
Foto: Istimewa
Launching Indeks kerawanan pemilihan serentak 2024 yang digelar Bawaslu Jabar.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) menyiapkan sejumlah antisipasi agar hajat politik di Jawa Barat (Jabar) tetap berjalan baik. Apalagi, Provinsi Jawa Barat saat ini menempati urutan keempat kategori tingkat tinggi kerawanan Pemilu secara nasional. 

Berdasarkan catatan Bawaslu Jawa Barat, provinsi dengan tingkat kerawanan pemilu tertinggi adalah DKI Jakarta, disusul Sulawesi Utara, Maluku Utara, Jawa Barat dan Kalimantan Timur. Menurut Koordinator Divisi Pencegahan dan Partisipasi Masyakarat (P2M) Bawaslu Jabar, Zaki Hilmi, ada empat dimensi tolok ukur hingga tingkatan kerawanan. Yakni, konflik sosial politik, penyelenggaraan, kontestasi dan partisipasi.

Baca Juga

“Ternyata Jabar paling rawan dalam hal kontestasi. Dimana soal hak dipilih kemudian pelaksanaan kampanye,” ujar Zaki kepada wartawan, Kamis (2/2/2023).

Hak dipilih, kata dia, menyangkut soal isu perempuan sebagai calon pemimpin maupun penolakan calon pemimpin berdasarkan isu SARA. Kemudian, dari sisi kampanye adalah informasi hoax, black campaign (kampanye hitam), penggunaan fasilitas negara, netralitas ASN, TNI dan Polri lalu soal money politik.

Sebagai upaya antisipasi dan pencegahan, kata dia, pihaknya sudah bekerja sama dengan perusahaan media sosial untuk melaporkan dan menarik unggahan dari akun yang memproduksi ujaran kebencian, isu sara atau politik identitas.

“Secara umum kalau di Jawa Barat, yang rawan tinggi itu ada di Kabupaten Bandung. Semua ada kategorisasi empat dimensi ini dan pemetaan di kab kota berbeda,” katanya.

Saat ditanya apakah ada potensi peningkatan di tahun 2024 nanti, Zaki mengatakan, banyak pihak yang memprediksi hal tersebut akan terjadi. 

“Trennya ini banyak yang memprediksi dan kami sendiri berupaya mengantisipasi dari analisis yang sudah muncul bahwa tingkat kerawanan jauh lebih tinggi dibanding 2019,” katanya.  

Zaki mengatakan, dinamika kontestasi politik lebih tinggi terutama akan terkait soal konsekuensi keberlimpahan pengguna media sosial. Yakni, baik yang dilakukan oleh peserta pemilu atau partisipasi publik memberikan sikap dan tanggapan.

“Yang penting diantisiapasi, pertama akan melakukan upaya take down, kerja sama dengan kominfo dan platform medsos yang ada," katanya.

Kedua, kata dia, penguatan literasi masyarakat. Terutama, terhadap bagaimana penggunaan medsos yang baik, bagaimana soal tahapan pemilu yang benar, pencalonan dan lainnya.

“Yang ini bagi kita bagian dari strategi mencegah terjadinya sebaran hoax dan blackcampaign sendiri. Kami juga sedang membentuk tim khusus, termasuk bekerjasama dengan pemuka atau organisasi agama,” katanya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement