Kamis 16 Feb 2023 08:36 WIB

Pengamat: Ada Salah Kaprah Soal Politik Identitas

Selama ini, semakin sering orang banyak menyalahgunakan arti politik identitas.

Rep: Wahyu Suryana/ Red: Agus Yulianto
Pengamat komunikasi publik, Hendri Satrio menilai, ada salah kaprah tentang politik identitas belakangan.
Foto: joko sadewo
Pengamat komunikasi publik, Hendri Satrio menilai, ada salah kaprah tentang politik identitas belakangan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Menjelang Pemilu 2024, politik identitas banyak mendapatkan sorotan karena sebagian kalangan menganggap itu berbahaya. Pengamat komunikasi publik, Hendri Satrio menilai, ada salah kaprah tentang politik identitas belakangan.

Dia berpendapat, politik identitas memang akan tetap ada di Indonesia. Hal itu dikarenakan bhineka merupakan keniscayaan bagi Indonesia, tapi kekuatan bangsa ini ada di tunggal ika. 

Baca Juga

Hendri merasa, yang tidak boleh reward and punishment. "Kalau pilih a masuk surga, kalau tidak pilih a masuk neraka, itu tidak boleh," kata Hendri, Kamis (16/2/2023).

Namun, dia merasa, kalau politik identitas memang sudah ada dan biasanya lazim dilakukan. Apalagi, Islam merupakan agama mayoritas di Indonesia. Karenanya, parpol manapun, capres manapun, akan berusaha mendapatkan suara umat Islam.

Hal itu dikarenakan umat Islam memang akan menjadi pemilih terbesar, sehingga pasar terbesar itulah yang akan dikejar. Dalam rangka mendapatkan suara umat Islam, partai-partai atau capres-capres akan memakai identitas sebagai Muslim.

Semua itu dilakukan agar orang itu menjadi bagian dari Muslim, dan itu jadi salah satu bagian dalam promosi saja. Selama ini, dia melihat, semakin sering orang malah banyak menyalahgunakan arti istilah politik identitas tersebut.

"Memang mau mengejar siapa, pasti mau mengejar umat muslim kan, supaya itulah dikeluarkan simbol-simbol identitas kemusliman, jangan heran kalau ada capres cawapres shalat difoto, pakai peci difoto, karena dia ingin tunjukan identitas," ujar Hendri.

Terkait pilpres, dia menerangkan, ini jadi ritual lima tahunan dan setiap lima tahun kita mengevaluasi presiden. Jika bagus seperti Susilo Bambang Yudhoyono atau Joko Widodo dilanjut, jika sudah 10 tahun ritual jadi pergantian pemimpin.

Maka itu, dia melihat, seharusnya ini disambut dengan riang gembira karena itu merupakan ritual yang bagus. Sehingga, bila ada calon-calon presiden yang muncul seharusnya didukung negara karena itulah pesta demokrasi yang sesungguhnya.

"Mudah-mudahan ritual ini juga disepakati negara, sehingga negara menyambut pemimpin baru yang bisa melanjutkan kepemimpinan Pak Jokowi," kata Hendri. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement