REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Partai Buruh menolak ide atau wacana pembentukan koalisi besar partai politik untuk mengusung capres dan cawapres pada Pilpres 2024. Bagi Partai Buruh, koalisi besar akan mencederai demokrasi karena bakal membatasi jumlah calon.
Presiden Partai Buruh, Said Iqbal menjelaskan, koalisi besar pada akhirnya hanya akan melahirkan dua pasang calon presiden. Hal ini sekaligus menyempurnakan presidential threshold atau ambang batas pencalonan presiden 20 persen yang membatasi jumlah capres/cawpres.
“Partai Buruh menolak dibangunnya istilah koalisi besar untuk menggenapkan parlementary threshold 20 persen yang sudah ada,” ujar Said lewat keterangan tertulisnya, Sabtu (8/4/2023).
Lebih lanjut, Said menilai, ketika pasangan capres-cawapres hanya dua, maka sebenarnya sistem Indonesia sudah mengarah ke sistem demokrasi terpimpin yang dikomandani oleh partai politik. "Partai Buruh menolak dibangkitkannya kembali sistem demokrasi terpimpin melalui koalisi besar dan presidenstial threshold 20 persen," ujarnya.
Adapun Partai Buruh, kata dia, tidak akan berkoalisi dengan partai politik yang menyetujui pengesahan UU Cipta Kerja. Tidak pula berkoalisi dengan partai yang hanya basa basi saja menolak pengesahan UU Cipta Kerja.
Koalisi besar yang dimaksud adalah wacana penggabungan Koalisi Indonesia Bersatu (KIB) dan Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) yang terdiri atas Partai Golkar, PAN, PPP, Gerindra, dan PKB. Rencana pembentukan koalisi besar itu dibicarakan oleh lima ketua umum partai tersebut bersama Presiden Jokowi pada Ahad (2/4/2023) lalu di DPP PAN, Jakarta. Jokowi menyebut kelima partai itu "cocok" bergabung.
Hingga kini, koalisi 'Tim Jokowi' itu belum terbentuk. Kelima partai masih berkomunikasi untuk membicarakan peleburan koalisi. Sementara itu, partai non-parlemen seperti PSI ingin bergabung dalam koalisi tersebut. Sedangkan Partai Bulan Bintang mengapresiasi rencana pembentukan koalisi besar ini.