Kamis 13 Apr 2023 13:29 WIB

Generasi Muda Diminta tak Jadi Silent Majority

Kecenderungan anak muda adalah menikmati hidup untuk bersenang-senang.

Generasi muda (ilustrasi).
Foto: Republika/Prayogi
Generasi muda (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -– Generasi muda harus terus didorong untuk terus menebarkan perdamaian di dunia maya. Generasi muda Indonesia selama ini dinilai masih cenderung untuk bersenang-senang.

"Anak muda akan mau peduli di dunia maya kalau mereka tahu tantangannya. Selagi mereka masih menganggap urusan damai, urusan terorisme itu adalah urusan orang-orang tua, urusan bapaknya, urusan negara,  urusan misalnya presiden atau orang-orang dewasa ya mereka nggak bakal mau tahu, mereka akan santai-santai saja," ujar Guru Besar Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung, Prof Bambang Qomaruzzaman pada acara dialog bertajuk ‘Ngabubu Right’ yang digelar Subdit Kontra Propaganda Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT bersama Duta Damai Dunia Maya Regional Jawa Barat. 

Acara yang menggambil tema 'Kuatkan Literasi Damai di Bulan Ramadan' dengan diikuti sekitar 90 generasi muda dari berbagai profesi ini digelar di Swiss Bel Hotel, Dago, Bandung, Rabu (12/4/2023).

Prof Bambang memaklumi hal tersebut dikarenakan anak-anak muda secara niscaya kapan pun di masa kapan pun itu kecenderungannya menikmati hidup untuk bersenang-senang.  Karena hal itu memang adalah masanya.

"Di zaman saya dulu juga seperti itu. Mana peduli dengan urusan yang lebih besar kecuali urusan eksistensinya kelompoknya. Tetapi kalau mereka tahu bahwa urusan damai itu sebenarnya bukan urusan untuk orang tua tetapi untuk mereka, tentu dia akan sadar. Karena kita ngomongin damai bukan untuk sekarang, karena sekarang kita masih damai. Tapi besok tahun depan, 10 tahun kedepan, 20 tahun ke depan itu yang kita khawatirkan," ujarnya.

Untuk mendorong agar generasi muda ini untuk mau menebarkan perdamaian di dunia maya menurutnya ada dua hal. Yang pertama tentunya bahasa, bagamana bahasa ini mesti bisa diturunkan agar mereka mengaggap bahwa urusan damai ini juga menjadi urusan mereka.

"Di mana bahasa ini kita turunkan agar bisa kitas sesuai dengan gaya bahasanya mereka, bahasa anak milenial supaya bisa dimengerti oleh kaum sebayanya," ujar pria yang juga Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama Jawa Barat (Lakpesdam PWNU Jabar) ini.

Upaya yang kedua menurutnya juga harus bisa menjelaskan terkait apa itu damai dan apa pentingnya bagi generasi muda juga harus dikemas dengan hal yang mudah dimengerti di kalangan milenial. Menurutnya  ada satu istilah yang di pendidikan namanya AMBAK yang merupakan kependekan dari Apa Manfaatnya BAgiKu. Memahami AMBAK dengan baik adalah hal penting agar seseorang bersemangat mempelajari suatu hal dan tergerak mengamalkannya.

Kalau anak-anak muda ini menganggap bahwa damai adalah urusannya mereka, maka bukan tidak mungkin mereka bisa habis-habisan dalam membicarakan perdamaian dan beraksi untuk perdamaian. "Kalau mereka sudah asyik seperti itu maka hal ini bisa menjadi peluang untuk menggerakkan mereka dalam menebarkan perdamaian," ujarnya mengakhiri.

Hal senada juga dikatakan  Guru Besar bidang Ilmu Tafsir Al-Quran dari Universita Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati Bandung,  Prof Jajang A Rohmana, yang turut menjadi narasumber di acara tersebut. Menurutnya, generasi muda diminta untuk tidak menjadi silent majority (diam) dalam menciptakan perdamaian di negeri ini. Generasi muda harus aktif untuk terus menebarkan perdamaian melalui dunia maya.

"Saya kira memang perlu ada respons yang aktif dari generasi muda untuk mengisi konten-konten digital dengan pesan-pesan yang damai yang baik. Karena bagaimanapun dunia maya atau dunia digital itu akan selalu hadir. Karena melalui dunia maya, dunia menjadi luas dan terbuka," ujar Prof Jajang.

Menurut Prof Jajang yang juga Ketua Dewan Tafkir Pengurus Pusat Persatuan Islam (PP Persis) ini meminta generasi muda yang umumnya selama ini diam memang perlu untuk bergerak secara aktif mengisi konten-konten mereka, status mereka di media sosial dengan status yang menyejukkan, status keseharian yang menunjukkan cinta akan tanah air.

"Misalnya mereka bisa mengisi dengan konten ragam kuliner, kekayaan wisata dalam negeri di berbagai daerah, kekayaan etnik yang mana itu bisa dieksplorasi sebagai bagian cara untuk mengimbangi konten-konten yang selama ini mengarah pada paham-paham yang kurang baik seperti paham radikal di masyarakat. Itu yang pertama," ujarnya.

Lalu yang kedua menurutnya, perlu bagi generasi muda itu untuk bersikap kritis dengan apa yang disebut saring sebelum sharing. Hal tersebut dinilai baik sekali agar generasi muda dapat menyaring informasi yang didapat sebelum menyebarluaskannya lebih jauh.

"Artinya secara individu ketika memegang gadget sebelum kemudian disebarluaskan ke yang lain, maka dirinyalah yang harus dapat menyaringnya terlebih dahulu terhadap konten atau informasi yang diterima. Dan dengan demikian maka nanti konten yang negatif tidak akan mudah tersebar kalau sudah ada kewaspadaan dan kehati-hatian dari dirinya untuk tidak mudah menyebarkan itu," ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement