Ahad 07 May 2023 16:07 WIB

Cerita Keluarga Korban TPPO di Myanmar: Iming-Iming Gaji Hingga Dugaan Penganiayaan

Korban asal Bandung tertarik bekerja di luar negeri setelah menganggur saat pandemi.

Rep: Muhammad Fauzi Ridwan/ Red: Irfan Fitrat
Valeria Buring, kakak sepupu M, salah satu korban dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Myanmar, saat memberikan penjelasan soal sepupunya, Jumat (5/4/2023).
Foto: Republika/M Fauzi Ridwan
Valeria Buring, kakak sepupu M, salah satu korban dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) di Myanmar, saat memberikan penjelasan soal sepupunya, Jumat (5/4/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — Salah satu korban dugaan tindak pidana perdagangan orang (TPPO) yang dilaporkan disekap di Myanmar berasal dari Bandung, Jawa Barat. Keluarga korban menceritakan bagaimana warga Bandung berinisial M ini bisa berangkat ke luar negeri hingga terjebak di Myanmar.

M awalnya dikabarkan kehilangan pekerjaan akibat terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) akibat dampak pandemi Covid-19. Setelah sekitar dua tahun menganggur, M mendapat informasi dari temannya soal lowongan pekerjaan di Thailand.

Baca Juga

Lowongan pekerjaan di luar negeri itu menarik perhatian M. Kakak sepupu M, Valeria Buring, menjelaskan, sepupunya tertarik dengan tawaran gaji yang terbilang tinggi.

“Dengan iming-iming gaji, fasilitas yang bagus, makan empat kali, termasuk snack. Ada mes gratis. Tinggal terima gaji saja itu sekitar Rp 10-15 juta. Belum lagi ditambah bonus jika mencapai target. Tentu dengan iming-iming itu dia sangat antusias untuk pergi,” ujar Valeria, saat ditemui di kediamannya di Bandung, Jumat (5/4/2023).

Akhirnya, pada 22 Oktober 2022, M bersama sejumlah orang dari berbagai wilayah di Indonesia berkumpul di Bekasi, tempat perusahaan yang dikabarkan akan menyalurkan mereka bekerja ke Thailand. Menurut Valeria, sepupunya kemudian menuju Bandara Soekarno Hatta, Cengkareng, pada 23 Oktober, untuk berangkat ke Thailand.

Setibanya di Thailand, Valeria mengatakan, sepupunya itu diminta oleh keluarga untuk mengirimkan informasi lokasi di sana. Namun, kata dia, permintaan keluarga tidak dipenuhi lantaran pihak penyalur melarang M menggunakan telepon genggam (handphone).

Berdasarkan informasi yang didapatnya, menurut Valeria, sepupunya bersama sejumlah orang lainnya itu dibawa ke lokasi dengan waktu perjalanan sekitar delapan jam. Diketahui mereka dibawa ke Myawaddy, Myanmar.

Di sana, Valeria mengatakan, M diminta menandatangani kontrak kerja, yang disebutnya menggunakan bahasa asing. Menurut dia, M awalnya menolak karena tidak paham isi kontrak itu. Namun, kata dia, sepupunya akhirnya menandatangani kontrak itu karena mendapat ancaman denda,

“Dia cerita, saya disuruh tanda tangan kontrak bahasa Mandarin. Terus M enggak berani, enggak mau tanda tangan. Katanya, kalau enggak mau tanda tangan, boleh pulang, tapi harus bayar denda karena kan sudah di sini. Mau enggak mau, setengah dipaksa untuk tanda tangan,” kata Valeria.

Setelah menandatangani kontrak, menurut Valeria, sepupunya itu diminta langsung bekerja. Ternyata, kata dia, pekerjaan yang mesti dilakukan tidak sesuai. “Mereka disuruh scamming (modus penipuan), mengajak orang investasi ke sebuah website yang bodong,” katanya.

 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement