REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Bergabungnya Ustaz Hanan Attaki ke Nahdlatul Ulama (NU) mengejutkan beberapa kalangan, karena selama ini ia diisukan sebagai simpatisan Hizbut Tahrir (HT) yang sudah dilarang di Indonesia maupun di berbagai negara. Ustaz yang dikenal sebagai pendiri Shift ini pun pernah mengklarifikasi bahwa ia bukanlah anggota maupun simpatisan HTI dan hanya pernah mengkaji dan diskusi terkait kekhilafahan.
Berbaiatnya Ustaz yang berdomilisi di Bandung, Jawa Barat ini menunjukkan kedewasaan seorang ulama dalam melakukan upaya tabayun, muhasabah, maupun keinginan menegaskan pilihannya.
Ketua Forum Koordinasi Pencegahan Terorisme (FKPT) Provinsi Jawa Barat (Jabar) Iip Hidajat, mengatakan berbaiatnya Ustaz Hanan Attaki dapat menjadi contoh bagi anak muda lainnya bahwa tidak ada kata terlambat untuk melakukan hijrah menuju hal yang lebih baik. Tidak harus bergabung ke dalam suatu organisasi tertentu, tetapi menegaskan pilihan dan keyakinan untuk berjuang bersama dalam koridor NKRI.
"Artinya, meskipun pernah dicap atau terlibat dengan sebuah identitas yang terlarang, sepatutnya bisa menyadari, tabayun dan kembali ke Ibu Pertiwi," ujar Iip Hidayat di Bandung, Selasa (23/5/2023).
Ia mengungkapkan ketika hijrah dimaknai sebagai perubahan dari satu kondisi menjadi kondisi yang lebih baik, adalah hal patut disambut dengan baik. Juga langkah itu menyudahi stigma negatif yang pernah ditujukan kepadanya. Apalagi, ulama sekelas Hanan Attaki masih mau bertabayun dan mampu membuka diri untuk berjuang untuk persatuan Indonesia. "Fenomena da’i muda yang berhijrah harus dijadikan contoh dan sarana berintrospeksi bagi generasi muda," ucapnya.
Dengan begitu, Ustaz Hanan Attaki akan lebih diterima oleh masyarakat luas, terutama masyarakat Jawa Barat. Berdasarkan hasil riset Indonesian Politics Research & Consulting (IPRC) pada Maret 2023 lalu, sejatinya mayoritas warga Jawa Barat mengamalkan ajaran Islam yang moderat dan toleran. Hanya sebagian kecil kelompok yang cenderung mengamalkan ajaran yang intoleran. "Hal ini sejalan dengan temuan riset, mayoritas warga Jawa Barat (81,2 persen) menyatakan bahwa Pancasila dan UUD 1945 tidak bertentangan dengan ajaran Islam," ucap Iip.
"Hal ini ditunjukkan dengan toleransi antar umat beragama yang tinggi dalam aspek-aspek sosial, misalnya kesediaan untuk berteman, bertetangga, berniaga, berdiskusi, dan saling tolong-menolong dengan warga yang berbeda keyakinan," kata Iip yang juga Kepala Kesbangpol Jabar ini.
Oleh karena itu, Iip mengajak masyarakat untuk memiliki kepekaan bersama untuk hijrah ke dalam barisan NKRI, untuk menjaga persatuan antar anak bangsa. Menurutnya, generasi muda harus memahami bahwa agama tidak bertentangan dengan negara. Bahkan seharusnya, semakin mendalami pemahaman keagamaan, seharusnya berbanding lurus dengan keyakinan, sikap dan tindakan-tindakan konkret dalam membela negara.
"Negara Indonesia yang didasarkan atas pilar Pancasila dan UUD 1945 tidak bertentangan dengan ajaran agama, dan dengan demikian justru menjadi kewajiban bagi warga – termasuk generasi muda untuk membela negara," kata Iip.
Menurutnya, dengan semangat kebangsaan dan keagamaan yang sejalan akan menjadi benteng diri untuk mencegah terlibat dalam kelompok eksklusif, yang cenderung konservatif, intoleran dan bahkan mengembangkan perilaku ekstrimisme yang berbasis kekerasan. Hal ini patut diwaspadai, mengingat berdasarkan hasil riset yang sama, masih ditemui bahwa ada 13,6 persen warga Jawa Barat yang setuju bahwa sistem demokrasi bertentangan dengan ajaran Islam dan harus diubah.
"Pandangan minoritas seperti ini, apabila dikembangkan tanpa ada upaya tabayun dan introspeksi, dapat memicu tindakan-tindakan intoleran dan perilaku keagamaan yang ekstrem, yang bahkan dapat bermuara pada tindakan-tindakan kekerasan yang justru melanggar hukum dan ajaran agama," kata Iip.