Sabtu 10 Jun 2023 17:44 WIB

Kasus TBC di Jabar Setiap Tahun Meningkat, Ada 47 Ribu Kasus Baru

Namun, kasus ini masih belum berstatus Kejadian Luar Biasa (KLB).

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Penyakit TBC (ilustrasi).
Foto: gsahs.nsw.gov.au
Penyakit TBC (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Masyarakat Jabar diminta tak hanya mewaspadai penyakit sifilis saja. Sebab, kasus Penyakit Tuberkulosis (TBC) mengalami peningkatan sejak 2021 hingga saat ini. 

Menurut Kepala Bidang P2P, Dinas Kesehatan (Dinkes) Jabar, Rochady HS Wibawa, jumlah kasus yang terlaporkan positif TBC setiap tahun meningkat. Peningkatan kasus TBC di Jabar, kata dia, sejak 2021 hingga April 2023 tergolong tinggi, kasus baru terus terlaporkan dari 27 kabupaten dan kota. 

"Untuk kasus baru TBC di Jabar itu semakin lama, semakin meningkat dan kalau kita lihat dari 2021 sekitar 92 ribu kasus baru, kemudian 2022 ada 159 ribu kasus baru, sedangkan dari Januari - April 2023 ini sudah ada 47 ribu kasus baru," ujar Rochady, Sabtu (10/6/2023). 

Rochady mengatakan, penanganan TBC sendiri tergolong panjang. Selain itu, perawatannya juga tidak bisa dianggap enteng, karena obat-obatan yang dikonsumsi tergolong mahal. Belum lagi soal penularan penyakit ini yang sangat berbahaya. 

"Ini kan menjadi permasalahan sebetulnya, dimana pengobatannya akan lebih lama selama 6 bulan. Teru kalau menular ke anak-anak seperti apa TBC ini," katanya. 

Meski kasus ini tergolong banyak, kata Rochady, kasus ini masih belum berstatus Kejadian Luar Biasa (KLB). Menurutnya, kasus ini nantinya bisa ditentukan oleh kepala daerah di kabupaten dan kota. 

"TBC tidak darurat,karena kalau darurat itu kan KLB itu semua keputusannya ada di kepala daerah. Tapi setidaknya kita harus waspadai," katanya. 

Terkait obat-obatan penderita TBC, menurut Rochady, obat TBC itu ada beberapa macam, dua diantaranya ada penderita sensitif obat dan resistance obat. Untuk resistance obat ini tidak bisa pakai obat-obat bisa.

"Itu obat mahal, itu satu kali pengobatan bisa sampai Rp250 juta. Satu hari rata-rata obat yang diminum sekitar Rp14 juta. Kalau misalnya itu menjadi dibiayai oleh APBD kayanya APBD juga bisa kehabisan," katanya. 

Pemprov Jabar, kata dia, memiliki keterbatasan dalam melakukan tindakan penanganan. Karena, pemerintah kabupaten dan kota yang memiliki kebijakan penuh untuk menangani kasus itu karena memiliki wilayah. Hanya saja, Pemprov Jabar turut membantu memberikan obat di puskesmas. 

"Pemprov kan tidak punya area nah yang punya area itu di kabupaten kota, dan kita mah tinggal mensuport obat-obatan seperti ke puskesmas, kemudian alat-alat pemeriksaan deteksi dini juga agar selalu tersedia," paparnya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement