REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Dalam program binayatul maliah Negara Islam Indonesia (NII), ada delapan pos keuangan negara yang harus dipenuhi, yaitu nafaqah daulah atau infaq, harakah Idihor, harakah qirad (obligasi negara), harakah Ramadhan, harakah qurban, aqiqah, berbagai macam sedekah khas (khusus) atau pendanaan strategis, dan pos tabungan pendidikan anak.
Mantan aktivis NII pada 1996 sampai 2001, Sukanto mengungkapkan, delapan pos keuangan tersebut harus dipenuhi oleh kader NII, serta harus mencari orang.
"Setiap orang yang sudah masuk dalam struktur NII tingkatan terbawah lalu diwajibkan bagi mereka untuk berjihad amwal wa anfus. Amwal itu ya harus memenuhi delapan pos keuangan, anfus ya cari orang," ujar Sukanto saat dihubungi Republika.co.id, Jumat (7/7/2023).
Namun, untuk memenuhi delapan pos keuangan tersebut, kader dari kalangan mahasiswa tentu tidak mampu secara ekonomi. Karena itu, NII akhirnya mendoktrin mereka dengan menyatakan bahwa di luar kelompoknya kafir dan berada dalam kondisi perang. Akhirnya, berbagai cara pun dilakukan oleh mereka walaupun dengan cara yang tidak halal.
"Jadi istilahnya, kalau dalam kondisi lapar tidak ada kambing, ada babi ya makan babi.Jadi kalau nggak ada yang halal yang haram juga nggak apa-apa, mereka boleh nipu, boleh nyuri," ucap Sukanto.
Namun, menurut dia, sekarang pola seperti itu sudah ditinggalkan. Menurut dia, sekarang ini gerakan NII justru menipu masyarakat melalui lembaga atau yayasan yatim piatu atau panti asuhan.
"Sekarang yang dilakukan adalah menipu masyarakat umum dengan membuat lembaga-lembaga yatim piatu, panti asuhan dan sebagainya yang legal formal. Jadi orang disuruh nyumbang, dan uangnya itu yang akan disetorkan ke Al Zaytun," kata Sukanto.