Kamis 24 Aug 2023 16:42 WIB

Tahun Ini Indonesia Jadi Tuan Rumah Asia Small Tea Growers Conference

Hampir separuh (46 persen) perkebunan teh Indonesia digarap oleh petani.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Agus Yulianto
Asia Small Tea Growers Conference 2023 di Bandung, Rabu malam (23/8/2023).
Foto: dok. Republika
Asia Small Tea Growers Conference 2023 di Bandung, Rabu malam (23/8/2023).

REPUBLIKA.CO.ID,  

 

 

 

BANDUNG -- Saat ini, tren konsumsi teh global terus meningkat. Ironisnya, kondisi industri teh di Tanah Air justru semakin lesu. 

Penurunan kinerja ini, telah dialami oleh tiga pelaku utama sektor teh. Yakni, Perkebunan Besar Negara, Perkebunan Besar Swasta, dan Perkebunan Rakyat. Namun, petani kecil yang mengelola kebun secara mandiri merupakan pihak yang paling rentan. 

Petani sendiri, memiliki sederet keterbatasan modal, kemampuan dan teknologi. Sehingga, umumnya kurang luwes dalam menghadapi kondisi pasar yang dinamis. Hampir separuh (46 persen) perkebunan teh Indonesia digarap oleh petani, sedangkan 34 persen dikelola oleh negara dan 20 persen dikelola oleh swasta. 

Meeskipun mempunyai area perkebunan terluas, ironisnya produktivitas kebun teh rakyat justru yang paling kecil. Dari 144.064 ton produksi teh kering Indonesia pada 2020, 40 persen dihasilkan oleh Perkebunan Besar Negara, 35 persen oleh Perkebunan Rakyat, dan 25 persen oleh Perkebunan Besar Swasta.

Hal ini terjadi, karena mayoritas petani teh masih menjual pucuk basah. Sehingga, belum ada nilai tambah produk. Selain itu, harga masih bergantung pada pengepul di daerah masing-masing. Akibatnya, petani sering kali menerima berapapun harga yang ditentukan pengumpul atau pabrik pengolahan. 

Tak heran bila sejumlah petani  meninggalkan kebun teh mereka, dan mencari alternatif pekerjaan lain, seperti buruh, karyawan, atau jadi pedagang. Generasi muda pun tidak tertarik melanjutkan kebun teh yang sudah menjadi warisan turun-temurun. Kebanyakan dari mereka memilih merantau untuk mendapat upah lebih baik.

Menurut Ketua Paguyuban Tani Lestari, Waras Paliant, posisi petani berada di paling ujung rantai pasok dengan segala keterbatasannya. Ketergantungan yang besar pada pelaku lain, juga semakin menempatkan mereka pada posisi tawar yang rendah. 

"Jadi, harus ada solusi inovatif untuk mengubah kondisi tersebut. Salah satunya adalah seperti yang kami (paguyuban) lakukan bersama para petani dengan membangun produk teh rakyat yang telah kami beri nama ‘Teh nDeso’," ujar Waras kepada wartawan dalam acara Asia Small Tea Growers Conference 2023 di Bandung, Rabu malam (23/8/2023).

Melalui event Asia Small Tea Growers Conference 2023, kata Waras, pihaknya akan mengumumkan rencana ekspansi pasar ke Jawa Barat dan launching brand Teh Juwara.

Selain itu, menurut Waras, membanjirnya impor teh di pasar Indonesia juga karena konsumen Indonesia lebih menghendaki 

produk teh dengan harga murah. Hal itu membuat para pengusaha minuman bahan baku teh, lebih pilih mengimpor teh berkualitas rendah dengan harga murah. Jika kondisi ini berlanjut, tentu dapat merugikan sektor teh Indonesia dan berdampak negatif bagi seluruh petani teh.

Melihat kondisi tersebut, kata dia, Aliansi organisasi teh dari negara-negara produsen dan konsumen teh utama di Asia, Asia Tea Alliance (ATA) akan mempromosikan teh Asia di pasar global, membantu para produsen terutama produsen kecil mengidentifikasi peluang pasar baru dan 

mengatasi hambatan perdagangan.

Tahun ini, kata dia, Indonesia berkesempatan menjadi tuan rumah pertemuan tahunan ATA yang dihadiri oleh para delegasi ATA)l dari berbagai negara dan tamu undangan dari perwakilan stakeholder sektor teh di Indonesia.

ATA secara rutin menyelenggarakan pertemuan tahunan yang memberikan wadah untuk saling memperkuat hubungan yang menguntungkan, dengan cara berbagi informasi, promosi perdagangan untuk meningkatkan konsumsi teh.

Tak hanya itu, kata dia, pertemuan ini juga untuk meningkatkan pertukaran teknologi dan lain-lain. Sehingga terjadi kerja sama antar negara yang saling mendukung untuk menciptakan sektor teh yang lebih kompetitif dan berkelanjutan di Asia.

Konferensi tahun ini mengangkat tema ‘Multistakeholder cooperation for tea sector in Asia’, dengan fokus pada pemberdayaan petani teh kecil dan potensi untuk menciptakan bentuk kerjasama yang melibatkan berbagai pihak dalam industri teh di Asia.

Di dalamnya ada produsen teh, perusahaan pengolahan, pemerintah, lembaga riset, organisasi non-pemerintah, petani teh, dan konsumen.

Sementara menurut Managing Director Solidaridad Asia Dr Shatadru Chattopadhayay, pihaknya merasa terhormat mendapatkan peran sebagai penyelenggara netral Asia Tea Alliance, sebuah inisiatif terobosan yang menyatukan produsen teh kecil dan besar di benua Asia.

"Dalam tahun-tahun mendatang, kami percaya ATA akan muncul sebagai salah satu forum penting untuk mengatasi masalah yang sama, ketertarikan, dan aspirasi industri teh Asia," katanya. 

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement