Senin 23 Oct 2023 11:43 WIB

Menebar Toleransi dari Sekolah di Parigi

Pelajar dari berbagai daerah di Indonesia bisa sekolah gratis di SMK Bakti Karya.

Rep: Bayu Adji P/ Red: Irfan Fitrat
Ketua Yayasan Darma Bakti Karya, Ai Nurhidayat, berkomunikasi dengan para siswa kelas multikultural di  SMK Bakti Karya, Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat.
Foto: Dok Ai Nurhidayat.
Ketua Yayasan Darma Bakti Karya, Ai Nurhidayat, berkomunikasi dengan para siswa kelas multikultural di SMK Bakti Karya, Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat.

REPUBLIKA.CO.ID, PANGANDARAN — Sinar matahari terasa cukup terik di Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, pada Rabu (11/10/2023). Musim kemarau, yang disertai fenomena cuaca El Nino, membuat hawa siang itu terasa lebih panas ketimbang biasanya. 

Meski begitu, sejumlah siswa Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Bakti Karya masih terlihat semangat beraktivitas di halaman belakang sekolah, selepas jam pelajaran. Hilmi Nurul Latipah salah satunya. Dengan cekatan ia menggunakan gergaji untuk memotong kayu. “Ini buat bawahan kursi,” kata pelajar berusia 15 tahun itu kepada Republika.

Kursi itu disiapkan sebagai dekorasi untuk miniatur rumah adat Jawa Barat, parahu kumureb. Parahu kumureb menjadi satu dari lima rumah adat yang ditampilkan pada Festival 28 Bahasa 2023. Festival tersebut merupakan kegiatan tahunan SMK Bakti Karya, yang tahun ini digelar pada Sabtu (21/10/2023).

Hilmi antusias menyambut Festival 28 Bahasa. Tahun ini merupakan kesempatan pertama bagi siswa angkatan 2023 atau Keumalahayati SMK Bakti Karya itu ikut serta dalam festival secara langsung. Ia dengan sungguh-sungguh mempersiapkan segalanya agar festival bisa berlangsung dengan meriah.

Dalam Festival 28 Bahasa 2023, Hilmi bersama teman seangkatannya juga menampilkan sebuah tarian kreasi. Sementara untuk penampilan individual, siswi asal Dusun Cikubang, Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, itu membacakan puisi berjudul “Basa Indung Nyorang Jaga”.

Sementara bagi Alfredo Yance Sama (15 tahun), yang akrab disapa Edo, Festival 28 Bahasa tahun ini merupakan yang kedua kalinya ia ikuti. Ia tetap antusias. Bersama sejumlah rekannya, siswa asal Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Papua Pegunungan, itu menyiapkan diri untuk menampilkan tari wisisi. “Itu dari Papua. Hampir setiap kota-kota di Papua tahu tari itu,” kata siswa angkatan 2022 atau Ki Hadjar Dewantara SMK Bakti Karya itu.

Bagi Edo, menampilkan tari wisisi menjadi tantangan tersendiri. Pasalnya, pada festival sebelumnya, siswa asal Papua di sekolahnya rata-rata membawakan tari yospan. “Saya mau lain dari sebelumnya,” ujar dia.

Pada Festival 28 Bahasa 2023 ini juga ditampilkan budaya Papua lainnya, seperti rumah adat honai. Para siswa asal Papua di SMK Bakti Karya juga menyajikan makanan dengan cara tradisional bakar batu.

 

photo
Sejumlah siswa menyiapkan dekorasi miniatur rumah adat di halaman belakang SMK Bakti Karya, Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran, Jawa Barat, Rabu (11/10/2023), untuk Festival 28 Bahasa 2023. - (Republika/Bayu Adji P)

 

Merasakan langsung keberagaman

SMK Bakti Karya berada di Jalan Cikubang, Desa Cintakarya, Kecamatan Parigi, Kabupaten Pangandaran. Siswa SMK Bakti Karya ini bukan hanya berasal dari Kabupaten Pangandaran, melainkan dari berbagai daerah di Indonesia. Saat ini setidaknya ada sekitar 70 siswa di SMK yang memiliki jurusan multimedia, penyiaran, dan perfilman itu. 

Hilmi Nurul Latipah, yang baru lulus jenjang SMP pada pertengahan 2023, sebelumnya tak terpikir melanjutkan sekolah di SMK Bakti Karya. Rumah Hilmi memang tak jauh dari SMK itu. Namun, ia awalnya ingin melanjutkan pendidikan di sekolah lain.

“Namun, pas ada sosialisasi ke SMP aku, jadi tertarik. Soalnya, siswa di sini tidak hanya dari satu pulau. Jadi, keberagamannya itu dapet,” kata pelajar yang menggunakan kerudung itu.

Sejak dulu Hilmi memiliki ketertarikan untuk mengetahui lebih dalam soal keberagaman di Indonesia, yang disampaikan banyak buku pelajaran. Baik itu keberagaman suku, adat, bahasa, makanan, dan lain sebagainya. Ketertarikan Hilmi untuk masuk ke SMK Bakti Karya, yang memiliki program kelas multikultural, mendapat dukungan dari orang tua, apalagi kakaknya juga alumnus sekolah itu.

Baru sekitar empat bulan duduk di bangku SMK, Hilmi mengaku sudah mendapatkan banyak pelajaran mengenai perbedaan. Di sekolah ia berkenalan dengan siswa yang berbeda warna kulit, bahasa, cara berbicara, logat, dan kebiasaan. Hilmi belajar bagaimana menghargai perbedaan itu, toleransi, juga gotong royong.

“Sempat kaget, apalagi sama orang timur. Kalau di sini kan biasanya lembut, tapi orang timur nadanya agak tinggi. Namun, ketika sudah tahu, jadi biasa saja. Aku juga sangat menikmati. Aku dapet seperti apa Indonesia,” kata pelajar yang bercita-cita menjadi psikolog itu.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement