Selasa 26 Nov 2024 20:17 WIB

Rawan Bencana, Indonesia Harus Miliki Asuransi Kebencanaan

Pembiayaan resiko bencana ini penting untuk memperkuat kemampuan fiskal

Seminar Shaping Resilience: Financing a Disaster-Resilient Indonesia di ITB, Selasa (26/11/2024)
Foto: Arie Lukihardianti
Seminar Shaping Resilience: Financing a Disaster-Resilient Indonesia di ITB, Selasa (26/11/2024)

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG-- Indonesia merupakan negara yang paling rawan akan bencana. Kondisi geografis negara kepulauan yang dikelilingi lempeng tektonik utama dan laut. Sehingga, membuat Indonesia rentan terkena bencana gempa bumi, tsunami, dan cuaca ekstrim yang kerap mengakibatkan banjir dan tanah longsor.

Dampak bencana tidak hanya mengancam keselamatan. Tapi juga, bencana menyebabkan kerugian ekonomi yang signifikan imbas terpengaruhnya mata pencaharian, aset, dan kehidupan komunitas terdampak.

Baca Juga

Saat ini, kondisi iklim dunia semakin memburuk. Sehingga, kerugian ini diprediksi akan menjadi lebih parah kedepannya. Berdasarkan data Kementerian Keuangan yang dirilis pada 2018, dari tahun 2000 hingga 2016, Indonesia mengalami kerugian ekonomi tahunan rata-rata sebesar 1,54 Miliar dolar Amerika atau setara Rp 22,8 Triliun.

Melihat kondisi tersbut, Centre for Disaster Protection (CDP), Resilience Development Initiative (RDI) dan Pusat Penelitian Mitigasi Bencana Institut Teknologi Bandung (PPMB ITB) menggelar seminar Shaping Resilience: Financing a Disaster-Resilient Indonesia.

Menurut Associate Professor di Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan (SAPPK), ITB, Dr Saut Sagala, seminar ini membahas strategi Pembiayaan dan Asuransi Risiko Bencana (PARB) yang dicetuskan oleh Kementerian Keuangan untuk menjawab tantangan penanggulangan bencana di Indonesia. Strategi PARB merupakan topik yang sedang berkembang.

"PARB ditujukan untuk meningkatkan kemampuan pembiayaan risiko bencana dan memfasilitasi transfer risiko ke pasar swasta," ujar Saut.

Saut menjelaskan, pembiayaan resiko bencana ini penting untuk memperkuat kemampuan fiskal. Misalnya musim hujan, pendanaan yang harus disiapkan apa saja. Jadi, antisipasinya tak hanya pendanaan namun sudah dikombinasikan dengan data, teknologi, intervensi pemerintah, dan transfer resiko keencanaan dengan asuransi.

"Dana tak terduga dari pemerintah tak akan cukup, karena Indonesia itu luas sekali, dalam setahun ada daerah yang satu bulan kebanjiran ini kan harus ada bantaun pemerintah. Makanya, harus ada asuransi kebencanaan karena dana pemerintah tak cukup," paparnya.

Strategi PARB, kata dia, saat ini sedang dalam tahap implementasi. Beberapa langkah konkrit yang telah terlaksana adalah pegembangan instrumen keuangan dengan mengintegrasikan pelapisan risiko bencana, mengembangkan kerja sama dengan pihak swasta untuk mengembangkan produk-produk asuransi yang menjawab kebutuhan masyarakat, penguatan regulasi, dan sosialisasi dan edukasi.

Saut mengakui, dalam pelaksanaannya terdapat beberapa tantangan berupa rendahnya penetrasi asuransi terutama pada masyarakat berpenghasilan rendah, kurangnya kesadaran masyarakat, dan kompleksitas risiko bencana di Indonesia itu sendiri. "Melalui kerja sama dengan CDP, RDI telah melakukan beberapa penelitian kolaborasi mengenai Pembiayaan asuransi dan resiko bencana dari tahun 2023. Sebagai bentuk sosialisasi dan edukasi PARB maka dilaksanakanlah seminar ini," katanya.

Di tempat yang sama, Dr Ir Agus Wibowo MSc dari BNPB menilai asuransi bencana memang diperlukan. Hal tersebut, bisa belajar dari Swiss asuransi bencanya sudah ada. Jadi, saat terjadi bencana masyarakatnya menjadi lebih siap. "Asuransi bencana ini sangat memungkikan dijalankan. Penelitian ke depan kan sudah mulai ke arah ini. Tapi memang harus didorong dan ada daerah pilotingnya," katanya..

Seminar PARB ini menghadirkan empat sesi utama yang membahas topik strategis untuk memperkuat ketahanan bencana di Indonesia. Sesi pertama mengupas kondisi pembiayaan risiko bencana di Indonesia,

termasuk peluang, tantangan, dan inspirasi dari praktik terbaik global, yang akan dipandu oleh

Sesi kedua menyoroti solusi pembiayaan inovatif untuk pemberdayaan masyarakat, dengan fokus

pada kolaborasi publik-swasta dan pemanfaatan data berbasis riset, yang akan disampaikan oleh Dr. Ir. Agus Wibowo, M.Sc. (BNPB), Prof. Dr. Irwan Meilano (Dekan Fakultas Teknik Kebumian dan Energi, ITB), serta Uke Mohammad Hussein, S.Si, M.P.P. (Bappenas). Selanjutnya, sesi ketiga mendalami integrasi instrumen keuangan inovatif dan pendekatan strategis untuk membangun kerangka kerja yang berkelanjutan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement