REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Sampah hingga saat ini masih menjadi persoalan di semua daerah di Indonesia. Salah satu industri yang menghasilkan sampah adalah tekstil dan produk tesktil (TPT). Sampah kain atau tekstil menyumbangkan 2,77 Persen sampah nasional. Pada 2023, timbunan sampah nasional tersebut hampir mencapai 70 juta ton.
Provinsi Jawa Barat sendiri, menduduki posisi pertama provinsi dengan sampah kain terbanyak di Indonesia. Dari 4,3 juta ton timbunan sampah tahunannya, dimana 3,41 persen di antaranya adalah sampah kain. Tepatnya, ada 147 ribu ton sampah kain yang dihasilkan Jawa Barat pada 2023.
Namun, di tangan seorang yang kreatif, sampah kain ini ternyata seperti bongkahan emas yang bisa menghasilkan pundi-pundi rupiah. Ia bernama Sujana (38 tahun) warga Kp Bojonggenggong RT 04/ RW 01 Desa Ciluluk Kec Cikancung Kabupaten Bandung. Sudah lebih dari 10 tahun, Sujana memulai bisnis membuat keset dari limbah kain.
"Kalau bisnis sudah lebih dari 10 tahun. Dari bikin kesetnya, tapi bahannya bermacam-macam ya coba-coba aja sampai akhirnya ada yang menawari limbah kain. Saya lihat ini masih bisa dimanfaatkan," ujar Sujana kepada //Republika//, Rabu (27/11/2024).
Sujana mengatakan, ia mendapatkan limbah kain berupa potongan-potongan kain dari berbagai pabrik. Salah satunya, dikirim dari Jawa Tengah. Setiap sepekan sekali, ia mendapat kiriman 2 ton limbah kain. Kemudian, semua limbah kain disortir lagi. Biasanya, yang bisa benar-benar dimanfaatkan untuk membuat produk keset sekitar 30 sampa 40 persen.
"Dari limbah yang disortir, separuhnya ga keambil. Tapi tetap bisa dimanfaatan karena bisa dijual lagi diambil sama orang yang bikin bantal. Paling yang benar-bernar dibuang itu yang sampah potongan-potongan kecil itu susah sudah ga bisa," kata Sujana.
Menurut Sujana, setelah limbah kain tersebut di sortir, ia pun mulai memproduksi. Yakni, ada keset yang dibuat dengan cara dijait kalau kainnya lebar. Tapi, kalau kain limbahnya agak kecil dibuat dengan cara ditenun. "Kalau harga limbah kain tersebut sebenarnya ga terlalu mahal. Tapi yang mahal biaya ongkos kirimnya," katanya.
Dengan membuat keset dari limbah kain, menurut Sujana, ia bisa mempekerjakan saudara dan tetangga sekitar rumah. Terutama, ibu-ibu yang selama ini tak memiliki penghasilan. Saat ini, jumlah pekerjanya baru ada sekitar 10 orang. "Ya Alhamdulillah pekerja semuanya saudara dan tetangga, jadi dengan mengolah limbah ini bisa memberikan lapangan kerja ke warga," katanya.
Terkait bahan baku limbah kain sendiri, Sujana mengaku, sering juga susah didapat karena tergantung produksi pabriknya. Untuk menyiasati agar bisa terus memproduksi keset, biasanya kalau tak ada limbah kain ia kembali membuat keset karakter dengan membeli kain dari toko. "Pabrik kan ga bikin limbah terus. Jadi kalau kosong, paling cari bahan yang lain kalau ga ada limbah. Saya cari bahan yang sedang lakunya apa yaa ngikutin alur aja yang lagi ramai sambil berinovasi," katanya.
Saat ini, kata Sujana, produknya tak hanya dijual di Provinsi Jabar saja. Tapi juga, sudah dikirim ke daerah lain seperti Bengkulu, Medan, Banjar masin, Lampung dan daerah lainnya di Indonesia. Ia, biasanya mengirimkan produknya ke luar kota kalau dapat pesanan dari grup jual beli di facebook.
"Saya belum main marketplace soalnya pernah kirim barang minta retur tapi barangnya ga ada padahal uang sudah dikembalikan jadi saya rugi cukup lumayan. Jadi sekarang saya cari aman jualanya yang ada resinya," katanya.
Menurut Sujana, omzet penjulan produk kesetnya pun tak menentu. Saat pembeli ramai, dalam seminggu biasanya barang yang keluar hampir 100 kodi perminggu. "Ya itu kalau lagi rame ya. Tapi saat sepi paling cuma 10 kodi namanya juga jualan turun naik," katanya.
Menjelang puasa, Sujana sangat senang. Karena, setiap puasa dan menjelang lebaran penjualannya akan meningkat. Harga jual kesetnya sendiri beragam. Untuk ukuran keset yang besar, harganya dibandrol Rp 150 per kodi. "Saat puasa dan menjelang lebaran biasanya banyak orang beli keset jadi penjualan bisa meningkat hingga 50 persen. Jadi kalau punya modal pengennya nyetok produk karena biasanya toko juga pada nyetok keset," katanya.
Sujana berharap, bisa mendapatkan suntikan modal lagi dari perbankan agar ia bisa menyetok produknya sebelum puasa. Ia bersykur, selama ini sudah mendapatkan pembiayan Kredit Usaha Rakyat (KUR) dari Bank BRI. Ia, mendapatkan pinjaman Rp 50 juta dengan angsuran 3 tahun. "Sekarang alhamdulillah nyicilnya tinggal 9 kali lagi, saya dapat pinjaman sudah 2 tahun ke belakang dan dibeliin bahan baku," katanya.
Karena pinjamannya sebentar lagi lunas, Sujana berharap bisa mendapatkan pinjaman lagi. Karena, tambahan modal ini sangat membantu pengusaha kecil seperti dirinya. Dengan dana pinjaman tersebut, ia bisa menambah volume produksi, membeli mesin, menambah pekerja, dan membeli bahan baku. "Kalau saya kan modalnya sedikit jadi menjalankan usahanya nunggu uang dari penjualan cair. Tapi kalau dapat pembiayan kan ada modal lagi," katanya.
Menurut Sujana, UMKM sperti dirinya pun sangat terbantu dengan adanya KUR. Karena, bunganya masih terjangkau untuk UMKM. "Ada KUR enak, jangan dihilangkan," katanya.
Sebagai gambaran, kata dia, biasanya tanpa ada pinjaman dari Bank BRI, ia hanya memproduksi 10 kodi saja sehari. Tapi, setelah ada pinjaman volume produksinya bisa bertambah menjadi 30 kodi sehari. "Saya pun bisa nambah jam kerja buat pekerja saya. Mereka kan banyaknya ibu-ibu jadi pada senang," kata Sujana seraya bersyukur saat pandemi Covid 19 ia tetap bertahan tak sampai mem PHK karyawannya karena banting stir membuat masker.
Sujana mengaku, awalnya ia tak sadar kalau usaha yang ditekuninya ini bisa membantu mengurangi limbah dan ramah lingkungan. Karena, ia hanya melihat selera pasar dan melihat peluang dari limbah kain saja. "Awalnya saya ga sadar kalau usaha saya ini bisa membantu lingkungan karena memanfaatkan limbah. Bagi saya yang penting bisa membuat keset dan mempekerjakan ibu-ibu sekitar rumah," katanya.
Sujana berharap, ke depan dengan adanya bantuan perbankan usahanya bisa terus berkembang. Jadi, ia bisa naik kelas menjadi UKM bahkan pengusaha besar. Ia pun, berharap ada pelatihan dalam mengelola usahanya karena saat ini usahanya masih dikelola dengan sistem keluarga.