Jumat 11 Apr 2025 20:23 WIB

Indonesia Dinilai Bisa Raup Peluang dari Penerapan Trade Tarif Amerika, Ini Penjelasannya

Amerika Serikat hampir tidak mungkin memproduksi garmen sendiri

Rektor Universitas Logistik dan Bisnis Internasional (ULBI), Prof Dr Nyoman Pujawan, M.Eng., CSCP
Foto: Dok Republika
Rektor Universitas Logistik dan Bisnis Internasional (ULBI), Prof Dr Nyoman Pujawan, M.Eng., CSCP

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Penerapan tarif dagang (trade tariffs) oleh Amerika Serikat terhadap sejumlah negara produsen besar seperti Tiongkok dan Vietnam membuka peluang baru bagi Indonesia. Karena, menurut Rektor Universitas Logistik dan Bisnis Internasional (ULBI), Prof Dr Nyoman Pujawan, M.Eng., CSCP, tarif impor produk dari Indonesia ke Amerika tidak sebesar negara-negara tersebut.

"Sehingga, menjadikan produk Indonesia relatif lebih murah dan kompetitif di pasar Amerika," ujar Prof Nyoman yang juga merupakan Guru Besar Supply Chain Engineering dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), dalam kuliah umum virtual bertajuk “US Trade Tariff and Its Implications on Global Supply Chain", yang digelar beberapa waktu lalu.

Baca Juga

Acara ini diikuti oleh lebih dari 1.000 peserta yang bergabung melalui Zoom dan YouTube Live, menunjukkan tingginya antusiasme masyarakat terhadap isu perdagangan global yang sedang berkembang. Kuliah umum ini terselenggara atas kerja sama antara ULBI dan Sekolah Interdisiplin Manajemen dan Teknologi ITS, sebagai bagian dari komitmen kedua institusi untuk memberikan wawasan strategis dan relevan bagi dunia pendidikan dan industri di tengah dinamika global yang semakin kompleks.

Dalam paparannya, Prof Nyoman pun menjelaskan bahwa kebijakan tarif ini, jika benar-benar diberlakukan sesuai dengan angka-angka yang diumumkan pekan lalu akan berpotensi mengubah konfigurasi rantai pasok global secara signifikan. Aktivitas produksi global, bisa saja bergeser dari negara seperti Tiongkok menuju negara-negara dengan tarif lebih rendah, termasuk Indonesia, terutama dalam industri padat karya seperti garmen.

Menurutnya, Amerika Serikat hampir tidak mungkin memproduksi garmen sendiri karena biaya produksinya bisa tiga hingga empat kali lipat dibandingkan jika diproduksi di negara seperti Bangladesh, Tiongkok, Indonesia, atau Vietnam. Oleh karena itu, meskipun volume impornya mungkin menurun akibat harga jual yang meningkat, Amerika tetap harus mengimpor.

"Nah, di sinilah letak peluang bagi Indonesia. Dengan tarif yang dikenakan terhadap produk-produk Tiongkok yang sangat tinggi, produk garmen dari Indonesia bisa menjadi alternatif yang lebih murah dan menarik bagi pasar Amerika,” kata Prof Nyoman.

Prof Nyoman menambahkan, saat ini sangat tergantung pada kesiapan dan kejelian pemerintah serta para pelaku usaha di Indonesia untuk menangkap peluang ini dan menjadikannya momentum peningkatan ekspor serta daya saing industri nasional.

Menanggapi pertanyaan mengenai wacana penghapusan kebijakan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) dan penghilangan kuota impor, Prof Nyoman menyatakan ketidaksetujuannya. Karena, Kebijakan TKDN sangat penting untuk menjaga agar Indonesia tidak hanya menjadi pasar bagi produk asing, tetapi juga mampu mengembangkan kapasitas produksi dan inovasi dalam negeri. "Tanpa TKDN, kita akan kehilangan insentif untuk membangun kemandirian industri,” katanya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement