REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU--Ratusan nelayan cumi menggelar aksi unjuk rasa menolak kewajiban pemasangan Vessel Monitoring System (VMS) pada kapal mereka. Pasalnya, pembelian maupun pemasangan serta pajak alat tersebut dibebankan kepada para nelayan.
Adapun biaya pembelian VMS disebut senilai Rp 17 juta – Rp 20 juta. Nilai itu belum termasuk biaya pemasangan, pembelian aki, dan pajak per tahunnya. Kewajiban memasang VMS itu diketahui berdasarkan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 42/PERMENKP/2015.
Berdasarkan pantauan Republika, aksi unjuk rasa dilakukan di depan Kantor Pangkalan Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PPSDKP) Jakarta Wilayah Kerja Eretan, Desa Eretan Wetan, Kecamatan Kandanghaur, Kabupaten Indramayu, Selasa (15/4/2025).
Para nelayan yang datang dengan menggunakan sejumlah mobil bak terbuka langsung berkumpul di depan kantor tersebut yang dijaga ketat aparat kepolisian. Sejumlah perwakilan massa pun menggelar orasi dan melakukan aksi teatrikal yang menggambarkan penderitaan nelayan.
Sempat terjadi saling dorong antara petugas dengan nelayan yang memaksa hendak masuk ke dalam kantor sambil membawa replika kapal. Beruntung, korlap berhasil menenangkan massa hingga aksi kembali berlangsung tertib.
Dalam orasinya, mereka menilai kewajiban pemasangan VMS pada kapal mereka sangat memberatkan karena harganya mahal. Padahal, nelayan sudah mengeluarkan biaya besar untuk operasional, biaya sandar, biaya kontribusi, dan biaya lainnya termasuk membayar pajak, di tengah penghasilan mereka yang minim. “Aturan (pemasangan) VMS mencekik nelayan,” teriak para pengunjuk rasa yang tergabung dalam Serikat Nelayan Cumi tersebut.
Koordinator aksi, Lucky Mukhtar mengatakan, selain mahal pemasangan VMS juga dinilai oleh nelayan tidak memberikan manfaat apapun. Jika hendak mengetahui posisi kapal nelayan, selama ini mereka sudah mempunyai radio sebagai alat monitoring maupun untuk komunikasi. “Dengan radio itu bisa untuk komunikasi dengan nakhoda secara langsung, jadi bisa mengetahui posisi kapal. Kita tidak perlu memasang VMS,” katanya.
Lucky menambahkan, nelayan pun selama ini dibebani pajak dari hasil tangkapan sebesar lima persen. Ia mempertanyakan imbal balik pajak yang telah dibayar nelayan. “Uang pajak kita ke mana? Itu bentuk sumbangsih kita, memberikan pendapatan untuk negara. Tapi giliran kita butuh, kita mengajukan tuntutan, mereka seolah-olah tidak mendengarkan. Usulan ini sering kita ajukan, bahkan audiensi sudah kita tempuh dengan beberapa instansi, tetapi tidak menemukan hasil,” katanya.
Lucky mengungkapkan, jika pemerintah bersikukuh mewajibkan pemasangan VMS, nelayan bisa menerimanya asalkan digratiskan. “Kita mau memasang VMS, tapi semuanya difasilitasi oleh negara. Difasilitasi dalam artian VMS itu diberikan secara gratis, dan tidak ada pajaknya, karena kita sudah memberikan pajak kepada negara,” kata Lucky.
Sementara itu, Pengawas Perikanan Wilayah Kerja Eretan, Asep Ruhiyat mengatakan, pemasangan VMS diwajibkan untuk semua kapal yang ijinnya ada di Pemerintah Pusat. Dia berjanji akan menyampaikan aspirasi para nelayan. “(Aspirasinya) tolak VMS dan permintaan VMS gratis. Tapi kami hanya pelaksana di lapangan. Nanti aspirasinya akan kami sampaikan ke pimpinan,” kata Asep.