Rabu 02 Jul 2025 19:04 WIB

Nasib Tambang di Bandung Barat, Ditutup Dedi Mulyadi Tapi Dibela Politisi Partai Demokrat

Belasan perusahaan tersebut memegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi

Para Pekerja Pengolahan Tambang di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat Melakukan Aksi. Mereka Meminta Tambang yang Sudah Ditutup Dioperasikan Kembali.
Foto: Ferry Bangkit
Para Pekerja Pengolahan Tambang di Kabupaten Bandung Barat, Jawa Barat Melakukan Aksi. Mereka Meminta Tambang yang Sudah Ditutup Dioperasikan Kembali.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG BARAT -- Sikap bertolak belakang ditunjukan Anggota DPRD Kabupaten Bandung Barat (KBB) dari Fraksi Partai Demokrat, Pither Tjuandys. Ia menolak kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang menutup 13 tambang di Bandung Barat.

Penutupan tambang ini menyusul terbitnya Surat Edaran Gubernur Jawa Barat Nomor 26/PM.05.02/PEREK tentang penghentian sementara penerbitan perizinan usaha dan nonusaha pada kawasan hutan dan perkebunan. Pengecualian hanya diberikan untuk kegiatan perlindungan lingkungan.

Baca Juga

"Kami mendapatkan surat dari 13 tambang di Bandung Barat. Segera buka kembali, karena tambang-tambang ini adalah aset kami yang akan kami pertahankan," ujar Pither, Rabu (2/7/2025).

Ketua Komisi III DPRD KBB itu mengatakan, belasan perusahaan tersebut memegang Izin Usaha Pertambangan Operasi Produksi (IUP OP) sehingga itu tidak bisa disebut sebagai tambang ilegal. Dalam pandangannya, penutupan tambang yang sudah berizin merupakan bentuk ketidakadilan terhadap investor dan tenaga kerja.

"Pemprov Jabar harus bertanggung jawab dengan produk yang dikeluarkan. Karena mereka bukan tambang ilegal tapi yang mengikuti aturan. Mereka juga pekerjakan masyarakat kurang lebih hampir 6 ribu yang hari ini dirumahkan," katanya.

Pither mengklaim penghentian sementara aktivitas tambang di wilayah Kabupaten Bandung Barat berdampak negatif terhadap nasib ribuan buruh yang dirumahkan setelah tambang-tambang itu ditutup atas instruksi Pemerintah Provinsi Jawa Barat.

"Dengan adanya penutupan aktivitas tambang ini tentu sangat merugikan mereka (buruh tambang). Karena sudah bertahun-tahun mereka bisa menghidupkan keluarga. Tiba-tiba ini ditutup yang tentu menimbulkan gejolak. Karena penderitaan mereka adalah penderitaan saya," kata Pither.

Dia pun meminta agar Bupati Bandung Barat Jeje Ritchie Ismail ikut memperjuangkan nasib perusahaan tambang demi menyelamatkan para buruh tambang agar tak menambah pengangguran. DPRD KBB juga akan melayangkan surat ke provinsi untuk mendorong agar kegiatan tambang kembali berjalan.

“Bupati juga harus bisa memperjuangkan tenaga kerja, karena kalau ditutup roda ekonomi di Bandung Barat terhambat dan investasi hilang," katanya.

Ribuan Buruh Tambang Terancam jadi Pengangguran

Sementara itu Ketua Himpunan Pengusaha Pekerja dan Masyarakat Tambang (HP2MT) KBB, Taofik E Sutaram mengatakan, sudah lebih dari 2.000 pekerja yang dirumahkan dari 42 perusahaan tambang yang ada di Cipatat dan Padalarang. Jika kondisi ini terus dibiarkan lama, maka akan ada sebanyak 7.000-10.000 pekerja dari hulu sampai hilir yang kehilangan mata pencaharian.

Menurutnya penghentian operasional perusahaan tambang di Cipatat dan Padalarang disebabkan belum disahkannya Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB) oleh Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Jabar. Meski seluruh pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) telah mengajukan dokumen.

"Sektor tambang di Citatah dan Padalarang jadi penyuplai bahan baku kalsium untuk industri pakan ayam di Jabar, Banten, dan Lampung, serta ke industri cat dan peleburan baja. Jadi kalau semena-mena ditutup, banyak yang terdampak," kata Taopik.

Pekerja pengolahan, Muhidin (53) mengatakan sudah seminggu terakhir ini tidak bekerja dan mendapat penghasilan imbas ditutupnya tambang. Ia berharap pemerintah segera membuka kembali lokasi tambang yang disebut ilegal itu.

"Seminggu ini sudah enggak kerja. Buat makan pas-pasan, apalagi anak mau masuk sekolah. Uang darimana, makan hari ini saja bingung darimana," kata Muhidin.

Muhidin mengatakan ia sudah bekerja sebagai pemecah batu di area tambang Citatah selama tiga tahun. Selama itu juga, ia menggantungkan hidup dari pertambangan tanpa tahu itu ilegal atau tidak. Namun jika tidak, Muhidin belum punya rencana apa-apa untuk menghidupi istri dan empat orang anaknya.

"Sudah tiga tahunan, sebelumnya kerja sebagai tukang ojek. Ya namanya juga buruh harian penghasilannya enggak tentu. Seminggu rata-rata bisa dapat Rp500 ribu. Ya enggak tahu, belum kepikiran kerja apa. Mudah-mudahan bisa dioperasikan lagi, cuma itu yang kami mau," ujar Muhidin.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement