REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Anggota Komisi II DPR, Mardani Ali Sera menyatakan bahwa, Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tidak mengubah sikapnya terkait dorongan revisi Undang-Undang (UU) Pemilu. PKS masih mendukung agar UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu direvisi.
"PKS masih istiqomah mendukung revisi RUU Pemilu. Karena banyak mudharat jika semua disatukan di 2024," kata Mardani kepada Republika, Senin (8/2).
Dirinya tak persoalkan terkait sikap sejumlah partai yang berubah haluan menolak merevisi UU Pemilu. Menurutnya, setiap partai punya kebebasan dalam menentukan sikap.
"Tapi agak aneh memang karena sudah separuh jalan. Di Panja Komisi II, ada notulennya, kecuali PDIP memberi catatan semua partai setuju untuk melanjutkan pembahasan Perubahan RUU Pemilu ini," ujarnya.
Ia menjabarkan ada sejumlah alasan mengapa PKS tetap mendukung agar pemilihan kepala daerah (Pilkada) tetap digelar 2022 dan 2023. Dari sisi penyelenggara, pelaksanaan Pilkada serentak dinilai lebih ringan dan fokus karena beban penyelenggara tidak bersamaan dengan Pemilu serentak 2024.
" 'Pemaksaan' untuk tetap menyelenggarakan Pemilu dan Pilkada serentak 2024 berpotensi menimbulkan korban jiwa yang lebih besar dibandingkan dengan Pemilu serentak 2019," ungkapnya.
Dari sisi pemilih, Mardani menilai informasi yang didapatkan calon pemilih terkait kapasitas dan kapabilitas calon kepala daerah akan lebih memadai karena penyelenggaraan Pilkada serentak tidak berbarengan dengan Pemilu 2024. Selain itu pelaksanaan Pilkada yang dibarengi Pemilu 2024 berpotensi membuat preferensi calon pemilih lebih banyak transaksional dan emosional.
Mardani menambahkan, dari sisi anggaran, efisiensi anggaran yang merupakan tujuan penyelenggaraan Pemilu serentak tidak tercapai. "Sebagai contoh alokasi APBN untuk Pemilu 2019 sebesar 25,12 Triliun, sedangkan Pemilu 2014 yang belum serentak berbiaya 24,8 Triiliun," tuturnya.
Ia juga menilai menambahkan beban APBN untuk pelaksanaan Pemilu serentak dan Pilkada serentak dapat berpotensi mengganggu pembangunan pembangunan nasional dan daerah pada tahun tersebut. Selain itu pelaksanaan Pilkada yang dibarengi Pemilu juga hanya akan menjauhkan partai dari konstituennya jika cuma digelar sekali dalam lima tahun.
"Plus keberadaan ratusan Plt yang berbahaya bagi pelayanan publik," ucapnya.
Sejumlah partai koalisi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) memang secara tiba-tiba berbalik badan untuk tidak melanjutkan pembahasan revisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Namun, Partai Golkar, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Nasdem membantah itu merupakan arahan dari Presiden.
"Ya saya kira, dalam pembahasan UU harus ada pandangan yang sama, bahkan kesepakatan yang sama antara pemetintah dan DPR," ujar Wakil Ketua Umum Partai Golkar, Ahmad Doli Kurnia Tandjung dalam diskusi daring, Senin (8/2).
DPR, kata Doli, merupakan perwakilan dari partai politik. Sedangkan Golkar sendiri adalah bagian dari koalisi pemerintahan Jokowi dan disebut memiliki kesamaan pandangan terhadap undang-undang tersebut.
"Saya kira ada diskusi sangat intensif antara pemerintah dengan pimpiman parpol kami, sehingga pada akhirnya kemudian sampai pada satu kesimpulan kita tunda pembahasan revisi UU ini," ujar Ketua Komisi II DPR itu.
Sedangkan PKB menyampaikan hal yang sedikit berbeda. Wakil Ketua Komisi II Fraksi PKB Luqman Hakim dalam forum diskusi yang sama mengatakan, pihaknya sejak awal mendukung pelaksanaan pemilihan kepala daerah (Pilkada) pada 2024.
Terkait UU Pemilu, ia menilai PKB memandang upaya revisi harus mencakup masalah-masalah mendasar yang menjadi temuan kekurangan pada pelaksanaan Pemilu 2019. "Jadi tidak ada pengaruh, misalnya kalaupun terakhir presiden minta ini, minta itu, PKB tidak ada pengaruhnya di situ," ujar Luqman.
Sekretaris Fraksi Partai Nasdem DPR Saan Mustopa mengatakan, partainya berusaha menjaga kesolidan koalisi Jokowi. Hal ini bertujuan agar semua pihak satu suara dalam penanganan pandemi Covid-19.
"Kita tdak mau dalam sebuah koalisi terkait dengan kebijakan pemerintah di kami berbeda antar negara, partai. Mudah-mudahan ini ditunda sementara," ujar Saan.
Meski begitu, ia menilai diskusi antara semua pihak terlait revisi UU Pemilu tetap diperlukan. Mengingat sistem politik dan demokrasi Indonesia belum mencapai kata sempurna pasca reformasi.
"Kita juga ingin desain dalam jangka waktu yang panjang, dan tentu ada konteks kepentingan yang mendesak terkait dengan berbagai pertimbangan," ujar Saan.