REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA — Hasil penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) mengungkapkan adanya peristiwa penganiayaan, dan kekerasan yang diduga dilakukan para terdakwa sebelum menembak mati para anggota Laskar Front Pembela Islam (FPI). Penganiayaan tersebut berupa tendangan, dan pemukulan, terhadap empat anggota pengawal Habib Rizieq Shihab (HRS) dalam peristiwa pelanggaran HAM yang terjadi di Kilometer (Km) 50 Tol Jakarta-Cikampek, Karawang-Bekasi, Jawa Barat (Jabar), pada Senin (7/12) 2020.
Bahkan, dari penyelidikan Komnas HAM juga disebutkan, adanya intimidasi yang dilakukan para petugas kepolisian, termasuk terdakwa, terhadap warga di lokasi kejadian. Hal itu, diungkapkan Kordinator Bidang Pemantauan dan Penyelidikan Komnas HAM, Endang Sri Melani. Jaksa penuntut umum (JPU) menghadirkan anggota Komnas HAM sebagai ahli dalam sidang lanjutan pembunuhan enam anggota Laskar FPI, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel), Selasa (30/11).
Sidang tersebut, masih mengadili dua terdakwa, anggota Resmob Polda Metro Jaya, Briptu Fikri Ramadhan, dan Ipda Yusmin Ohorello. Pengadilan meminta penjelasan terkait hasil penelusuran, penyelidikan, dan investigasi Komnas HAM, atas peristiwa unlawfull killing tersebut.
Endang menjelaskan, dari penyelidikan yang dilakukan timnya menemukan sejumlah kesaksian dari para warga, maupun pengunjung, serta pedagang yang sedang berada di Rest Area Km 50, yang melihat, dan mendengar langsung peristiwa malam nahas tersebut. Dari keterangan para saksi-saksi tersebut, terhimpun sedikitnya 20 pengakuan yang menceritakan tentang rentetan kejadian dini hari itu.
Dari mulai kesaksian yang melihat, dan mendengar desingan velg Chevrolet Spin abu-abu yang beradu dengan aspal jalan. Mobil tersebut, dikatakan sebagai kendaraan Laskar FPI. Saksi-saksi, kata Endang, dalam pengakuan kepada Komnas HAM juga melihat sejumlah petugas kepolisian yang menodongkan senjata api laras pendek ke arah mobil Laskar FPI
Halaman 2 / 4
Para saksi juga melihat adanya lebih dari empat mobil anggota kepolisian yang berada di lokasi kejadian. “Saksi melihat polisi datang turun dari mobil, dan menodongkan senjata api ke arah mobil Chevrolet Spin. Saksi melihat ada beberapa mobil polisi sejumlah kurang lebih antara 4 sampai 5 unit di depan mobil Chevrolet Spin di Rest Area Km 50,” tutur Endang, Selasa (30/11).
Kesaksian para warga, dan pengunjung, serta pedagang tersebut, juga mengungkap sejumlah anggota kepolisian, yang sudah datang dan meminta kepada orang-orang di sekitar lokasi kejadian, untuk tak mendekat ke Rest Area Km 50. “Saksi-saksi mendengar polisi, meminta warga, pengunjung dan pedagang, di Rest Area Km 50 untuk mundur, dan tidak mendekat ke tempat kejadian perkara,” kata Endang.
Menurut saksi-saksi tersebut, kata Endang, itu dilakukan kepolisian dengan memberikan keterangan kepada warga, akan ada penangkapan anggota terorisme, atau bandar narkotika. “Alasan warga, dan pengunjung tidak boleh mendekat itu, karena polisi mengatakan ada penangkapan teroris, dan ada yang mengatakan ada penangkapan narkoba,” ujar Endang.
Pengakuan para saksi-saksi tersebut tercatat, dan terekam resmi dalam laporan, serta berita acara dari hasil investigasi pelanggaran HAM berupa unlawfull killing, yang dilakukan para terdakwa. Namun Komnas HAM tak bersedia, membeberkan nama-nama saksi, warga, maupun pengunjung, serta pedagang yang menceritakan kejadian tersebut.
Alasannya, lantaran mereka ketakutan. Karena pada malam kejadian itu, intimidasi dari kepolisian sudah terjadi. Yaitu larangan kepolisian agar para warga, pengunjung, dan pedagang tak mendokumentasikan apa-apa yang akan, dan yang bakal terjadi pada malam itu. “Saksi-saksi mengaku dilarang polisi mengambil foto, dan polisi melakukan pemeriksaan kepada warga, dan pengunjung untuk memeriksa telepon genggam para pedagang, warga, dan pengunjung, dan meminta menghapus foto-foto dan rekaman video,” ujar Endang.
Penjelasan Endang, atas pengakuan saksi-saksi kepada Komnas HAM tersebut, sempat ditentang tim pengacara para terdakwa saat persidangan. Alasannya, karena saksi-saksi dalam laporan Komnas HAM bisa saja bias, dan tak dipercaya. Karena itu, tim pengacara terdakwa meminta majelis hakim, menghadirkan langsung saksi-saksi dalam laporan Komnas HAM tersebut.
“Jika alasannya adalah takut, kita ada LPSK (Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban),” begitu kata Kordinator Tim Pengacara Terdakwa, Henry Yosodiningrat di persidangan.
Komentar
Gunakan Google Gunakan Facebook