Jumat 17 Dec 2021 16:54 WIB

Masyarakat Pangandaran Terus Diedukasi Mitigasi Tsunami

Pangandaran terus belajar dari tsunami yang menerjang daerah itu pada 2006.

Rep: Bayu Adji P/ Red: Ilham Tirta
Jalur evakuasi tsunami. Ilustrasi
Foto: ANTARA FOTO/IRWANSYAH PUTRA
Jalur evakuasi tsunami. Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, PANGANDARAN -- Kabupaten Pangandaran merupakan salah satu daerah pesisir di selatan Jawa Barat (Jabar) yang memiliki potensi kejadian bencana tsunami. Sejarah juga mencatat, daerah itu pernah diterjang tsunami pada 2006 silam.

Ketua Taruna Siaga Bencana (Tagana) Kabupaten Pangandaran, Nana Suryana mengatakan, sejak tsunami menerjang daerah itu pada 2006, pemerintah terus mengembangkan sistem pencegahan tsunami. Selain itu, masyarakat juga terus diedukasi terkait mitigasi bencana tsunami.

Baca Juga

"Selama ini sudah mulai cukup baik persiapan kesiapsiagaannya," kata dia, Jumat (17/12).

Nana menjelaskan, Tagana juga telah membentuk relawan di tingkat desa, terutama yang berada di wilayah pesisir untuk menginisiasi pendirian kampung siaga bencana. Kampung siaga bencana itu dibentuk dengan tujuan agar masyarakat yang tinggal di wilayah rawan tsunami memiliki pemahaman yang memadai.

"Di sana kami latih masyarakat terkait kesiapsiagaan bencana, termasuk bencana tsunami," ujar dia.

Menurut Nana, menguatkan pemahaman di kalangan masyarakat dalam menghadapi bencana adalah faktor yang sangat penting untuk memininalisir jatuhnya korban jiwa. Ia mencontohkan, ketika terjadi tsunami di Kabupaten Pangandaran pada 2006, banyak korban jiwa yang muncul.

Itu disebabkan banyak masyarakat yang tidak paham harus berbuat apa. Karena itu, saat ini, pihaknya terus melakukan edukasi kepada masyarakat.

Dalam bencana tsunami, terdapat golden time sekitar 10-30 menit setelah terjadi gempa bumi. Usai gempa terjadi, permukaan air laut biasanya akan menyurut sebelum gelombang besar terjadi. Tenggang waktu di antara gempa dan gelombang besar itu dinilai cukup untuk menyelamatkan diri.

"Ini yang kami sosialisasikan ke masyarakat," kata Nana.

Selain itu, ia menambahkan, pihaknya juga rutin melakukan penanaman mangrove. Menurut dia, mangrove akan berfungsi sebagai green belt di daerah muara ketika tsunami menerjang, sehingga dampaknya ke daratan dapat dimininalisir. Sebab, daerah muara akan menjadi "jalan tol" gelombang tsunami apabila tak dibentengi.

"Targetnya, seluruh pesisir, terutana muara, ada hutan mangrove. Jadi bisa menjadi benteng dari ancaman tsunami. Secara lingkungan juga itu kan baik untuk perkembangan biota laut," kata dia.

Di samping itu, Tagana juga terus mendorong Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Pangandaran untuk meningkatkan kapasitas infrastruktur dalam menghadapi bencana. Artinya, semua sektor pembangunan dilandasi dengan mitigasi bencana.

Nana mencontohkan, hotel-hotel yang banyak terdapat di Kabupaten Pangandaran, harus memiliki tempat yang dapat dijadikan tempat evakuasi sementara (TES). Menurut dia, Tagana sudah beberapa kali mengusulkan agar hotel menggunakan bagian balkonnya yang paling atas untuk menjadi TES.

"Karena bangunan hotel di Pangandaran itu cukup kuat. Sementara, apabila masyarakat harus evakuasi ke daratan tinggi itu cukup jauh, rambu juga masih minim. Jadi alternatifnya itu bangunan tinggi," kata dia.

Ihwal sistem peringatan dini atau early warning system (EWS) bencana tsunami di Pangandaran, Nana menilai, saat ini masih minim. Ia menyebutkan, di sepanjang pantai daerah itu, hanya terdapat dua EWS yang berfungsi, yaitu di Pantai Pangandaran dan Bojongsalawe. Menurut dia, EWS harus ditambah mengingat pantai di Pangandaran cukup panjang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement