Jumat 24 Dec 2021 09:20 WIB

Polda Metro Jadikan Eks Gubernur Bengkulu Tersangka Cek Kosong

Berkas perkasa Najamudin dan Raden Saleh sudah diserahkan ke kejaksaan.

Rep: Ali Mansur/ Red: Erik Purnama Putra
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Endra Zulpan.
Foto: Dok Humas Polda Metro Jaya
Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Endra Zulpan.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Gubernur Bengkulu periode 2005-2012 Agusrin M Najamudin dan mantan anggota Fraksi PKB DPR Raden Saleh Abdul Malik ditetapkan sebagai tersangka kasus penipuan cek kosong oleh Polda Metro Jaya. Penetapan tersangka oleh Polda Metro Jaya berdasarkan laporan dari PT Tirto Alam Cindo (TAC) pada Maret 2020.

"Sudah tersangka, berkasnya juga sudah diserahkan ke kejaksaan," kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Endra Zulpan di Jakarta, Kamis, (23/12).

Baca Juga

Zulpan mengungkapkan, jika keduanya telah ditetapkan sebagai tersangka pada September 2021. Berkas perkara kasus itu pun disebut telah diserahkan ke kejaksaan. "Sudah tersangka. Berkasnya sudah dilimpahkan ke kejaksaan," kata Zulpan.

kuasa hukum Agusrin dan Raden Saleh, Yasrizal membantah kedua kliennya telah melakukan dugaan penipuan cek kosong sebesar Rp 33 miliar. Menurut dia, justru PT TAC selaku penjual yang telah melakukan penipuan dengan memanipulasi kondisi barang yang tidak sesuai dengan kondisi yang disepakati.

"Dengan sengaja memutarbalikkan fakta dengan tujuan menekan klien kami agar mau membayar barang yang harga sebenarnya hanya Rp 6 miliar dan meminta pembayaran Rp 33 miliar," kata Yusrizal dalam keterangannya.

Pengacara PT TAC, Andreas, menjelaskan awal mula pelaporan kasus itu. Saat itu, kata dia, Agusrin hendak menawarkan kerja sama bisnis dengan pihak pelapor pada 2019. "AG (Agusrin M Najamudin) itu mengaku punya HPH (hak pengelolaan hutan) di Bengkulu. Nah, rencananya dia mau membeli beberapa aset berupa pabrik dan alat berat dari PT TAC," tutur Andreas.

Dalam rencana kerja sama itu, kata dia, Agusrin sepakat membayar sejumlah uang kepada pihak pelapor hingga mencapai Rp 33 miliar. Dia menyebut, pembayaran uang itu dijalankan melalui bentuk saham.

"Akhirnya disepakati perjanjian tersebut sebesar Rp 33 miliar, di mana Rp 33 miliar itu dipecah jadi dua. Sebenarnya Rp 32,5 miliar dan Rp 525 juta itu berupa saham. Artinya, dia membentuk sebuah PT CKI. Dengan komposisi dari pihak TAC 52,5 persen dan PT API sebesar 47,5 persen. Transaksi itu terjadi," terang Andreas.

"Dari saudara AG, masukan nama RS (tersangka Raden Saleh) menjadi direktur utama dengan tujuan dia membeli Rp 32 miliar aset-aset tersebut," kata Andreas menjelaskan.

Andreas mengatakan, dari transaksi yang telah disepakati, pelaku baru membayar Rp 2,5 miliar. Agusrin dan Raden Saleh berjanji akan membayar sisanya melalui cek. "Dan cek itu dibuka Rp 10,5 miliar dan Rp 20 miliar. Kemudian sudah jatuh tempo bulan September 2021, tapi tidak dibayar. Terus ditagih dan mereka bayar kembali Rp 4,7 miliar. Jatuhnya tetap dibayar Rp 7,5 miliar dari Rp 33 miliar,” terang Andreas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement