Kamis 06 Jan 2022 18:19 WIB

Limbah Industri Kulit di Garut Masih Mencemari Lingkungan

Permasalahan pengolahan limbah menjadi penyebab kulit garut tak bisa diekspor

Rep: Bayu Adji P / Red: Ilham Tirta
Berbagai produk kerajinan kulit di sentra insdustri kulit Sukaregang, Kabupaten Garut.
Foto: Republika/Bayu Adji P
Berbagai produk kerajinan kulit di sentra insdustri kulit Sukaregang, Kabupaten Garut.

REPUBLIKA.CO.ID, GARUT -- Pengolahan limbah kerajinan kulit di kawasan Sukaregang, Kabupaten Garut, menjadi masalah utama dalam pengembangan industri tersebut. Pengolahan limbah yang tak ramah lingkungan disebut menjadi salah satu penyebab kerajinan kulit dari kawasan itu sulit dijual ke pasar internasional.

Wakil Ketua Asosiasi Penyamak Kulit Indonesia (APKI) Kabupaten Garut, Sukandar mengatakan, di kawasan Sukaregang terdapat lima titik tempat pengolahan limbah kulit. Namun, tak ada satu pun yang berfungsi. "Itu kemungkinan karena pemda tak punya anggaran untuk revitalisasi," kata dia, Kamis (6/1).

Baca Juga

Alhasil, limbah dari kerajinan kulit otomatis mencemari lingkungan. Menurut Sukandar, sebagian pengusaha penyamak kulit mengakali masalah limbah dengan mengendapkannya terlebih dahulu di sumur sebelum dibuang ke sungai untuk mengurangi risiko pencemaran lingkungan. Namun, ia tak menampik, masih ada pengusaha yang langsung membuang limbah itu ke sungai.

"Itu kan jadi masalah. Soalnya untuk ekspor itu kan diperhatikan juga masalah lingkungannya. Kalau masalah limbah ini tak selesai, industri kulit akan stagnan. Artinya, hanya bisa dijual di tingkat domestik," kata dia.

Sukandar mengatakan, pasar utama kerajinan kulit dari kawasan Sukaregang memang masih menyasar level domestik. Namun, dalam beberapa tahun terakhir, pasar kerajinan kulit terus menurun sebagai dampak dari pasar bebas. Apalagi dengan adanya pandemi Covid-19, geliat kerajinan kulit semakin sepi.

Karena itu, ia meminta pemerintah juga melakukan upaya untuk pengembangan industri kerajinan kulit di Kabupaten Garut. Menurut dia, masalah itu telah langsung disampaikan kepada Gubernur Jawa Barat (Jabar) Ridwan Kamil dalam pertemuan yang dilakukan pada Kamis (6/1) sore di kawasan Sukaregang.

Dari pertemuan itu, terdapat titik temu agar pemerintah melakukan revitalisasi tempat pengolahan limbah, sementara pengusaha menanggung biaya operasionalnya. "Mudah-mudahan terealisasi," kata dia.

Dalam pertemuan itu, Ridwan Kamil mengatakan, pihaknya akan melakukan pengecekan. Sebab, limbah kerajinan kulit akan menyebabkan pencemaran lingkungan.

"Kami akan cek. Katanya ada lima titik (pengolahan limbau), tapi tidak berfungsi," katanya. Dia juga sempat menyinggung masalah inovasi dalam kerajinan kulit di Kabupaten Garut.

Selain itu, Emil, sapaan akrab Ridwan Kamil, menilai desain untuk produk yang sama di beberapa toko kerajinan kulit hampir semua mirip. Ia mengatakan, harus ada inovasi untuk mengembangkan desain produk kerajinan kulit. Pemerintah Provinsi (Pemprov) Jabar disebut akan membentuk lembaga yang bertugas mengembangkan tren desain produk kerajinan kulit.

"Kalau perajin kompak, setiap tahun akan ada tren berbeda. Tidak berulang terus. Jadi membuat trendsetter," kata dia.

Salah satu perajin kulit di kawasan Sukaregang, Deni Saputra mengakui, belum banyak inovasi dari produk kerajinan kulit. Mayoritas produk kerajinan kulit adalah hasil duplikasi.

"Sekarang, dari ujung ke ujung (toko di Sukaregang) hampir sama semua modelnya. Belum ada pengembangan," kata dia.

Menurut dia, kendala tak adanya inovasi dalam desain produk kerajinan kulit adalah para perajin tak banyak memiliki pemahaman soal riset kebutuhan pasar. Para perajin membuat kerajinan hanya berdasarkan pesanan atau mengikuti tren yang ada.

Karena itu, ia mendukung rencana Gubernur Jabar untuk membuat lembaga yang bertugas mengembangkan tren kerajinan kulit. "Kalau ada lembaga yang meriset kebutuhan, perajin akan berkembang," kata dia.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement