REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kejaksaan Agung (Kejakgung) menetapkan lima orang tersangka terkait kasus dugaan korupsi di Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia (LPEI). Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Supardi mengungkapkan, lima tersangka tersebut adalah Josef Agus Susanta (JAS), Suyono (S), Arif Setiawan (AS), Ferry Sjaifullah (FS), dan Johan Darsono (JD).
Penghitungan sementara kerugian negara dalam kasus ini mencapai Rp 2,6 triliun. Supardi menjelaskan, tiga di antara tersangka adalah pejabat di LPEI dan sisanya pengusaha swasta.
“Banyak tersangkanya. Ini (penetapan lima tersangka) terkait dengan kasus pokoknya (dugaan korupsi),” ujar Supardi saat dihubungi Republika.co.id, Kamis (6/1).
Kata Supardi, kelima yang ditetapkan sebagai tersangka setelah serangkaian pemeriksaan sebagai saksi. Dalam periksaan hari ini, Kamis (6/1), tim penyidikan langsung mengenakan rompi merah muda tanda tahanan kepada kelimanya.
Mereka pun digiring terpisah ke mobil tahanan menuju kerangkeng Rutan Salemba, cabang Kejakgung dan ke Rutan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan (Kejari Jaksel). “Untuk tersangka JAS dan S ditahan di Rutan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan. Adapun tersangka AS, FS, dan JD ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung,” kata Kepala Pusat Penerangan dan Hukum (Kapuspenkum) Kejakgung, Leonard Ebenezer Simanjuntak, Kamis (6/1).
Kelimanya ditahan sementara selama 20 hari, sejak resmi ditetapkan tersangka. “Untuk mempercepat proses penyidikan,” kata Ebenezer.
Ebenezer menerangkan, AS ditetapkan sebagai tersangka selaku Direktur Pelaksana IV dan Komite Kelayakan LPEI 2016. FS selau Kepala Divisi Pembiyaan UKM LPEI 2015-2018, JAS selaku Kepala Kantor Wilayah (Kakanwil) LPEI Surakarta 2016, dan JD selaku Direktur PT Mount Dreams Indonesia (MDI). Sedangkan JD ditetapkan tersangka selaku Direktur PT Jasa Mulia Indonesia (JMI), PT Mulia Walet Indonesia (MWI), dan PT Borneo Walet Indonesia (BWI).
Kelima tersangka, kata Ebenezer, sementara ini penyidik jerat dengan sangkaan korupsi memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang berujung pada kerugian negara. “Dari perhitungan sementara oleh penyidik terkait kasus ini, (kerugian negara) kurang lebih Rp 2,6 triliun,” terang Ebenezer.
Kasus ini berawal dari masalah LPEI yang memberikan pembiayaan kepada para debitur untuk penyelanggaran ekspor nasional kurun pembukuan 2013-2019. Para debitur tersebut yakni delapan grup usaha yang terdiri dari 27 unit perusahaan swasta. Pada Grup Walet, nilai pembiyaan dari LPEI setotal Rp 576 miliar.
Pembiyaan tersebut semula diberikan kepada CV Mulia Walet Indonesia senilai Rp 90 miliar. Lalu pembiyaan tersebut diambil alih oleh PT Mulia Walet Indonesia dengan pembekakan pembiyaan mencapai Rp 175 miliar. Dari Grup Walet juga, PT Jasa Mulia Indonesia memperoleh pembiyaan Rp 276 miliar. Sedangkan pembiyaan kepada PT Borneo Walet Indonesia senilai Rp 125 miliar.
Kepada Grup Johan Darsono, fasilitas pembiyaan ekspor nasional diberikan senilai total Rp 2,1 triliun. Pembiyaan tersebut diberikan kepada 12 perusahaan, yaitu PT Kemilau Kemas Timur Rp 200 miliar, CV Abaya Giri Timur Rp 15 miliar, CV Multi Mandala Rp 15 miliar, CV Prima Garuda Rp 15 miliar, CV Inti Makmur Rp 15 miliar.
Kemudian, PT Permata Sinita Kemasindo Rp 200 miliar, PT Summit Papper Indonesia Rp 199,6 miliar, PT Elite Paper Indonesia Rp 200 miliar, PT Everbliss Packaging Indonesia Rp 200 miliar, PT Mount Dream Indonesia Rp 645 miliar. Selanjutnya, PT Gunung Geliat 30 juta dolar AS atau setara Rp 345 miliar, dan PT Kertas Basuki Rahmat 45 juta dolar AS atau Rp 460 miliar.
Dari semua pembiayaan tersebut, sejak awal prosesnya sudah mengalami cacat prosedur. “Pemberian pembiayaan ekspor nasional oleh LPEI kepada para debitur tersebut dilakukan tanpa melalui prinsip tata kelola perusahaan yang baik, dan tidak sesuai dengan aturan kebijakan di LPEI, sehingga berdampak pada kerugian negara,” kata Ebenezer.
Pemberian pembiyaan tersebut pun berdampak pada peningkatan nilai kredit macet pengembalian dari para debitur ke kas LPEI. Pada laporan pembukuan LPEI 2019, angka kredit macet senilai 4,7 triliun tahun berjalan.
“Pembiyaan kepada para debitur tersebut, berstatus kolektibilitas lima, atau macet per Desember 2019,” kata Ebenezer.