REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — Kondisi tanah atau bidang lahan yang belum bersertifikat dinilai rawan memicu timbulnya sengketa. Karenanya, Kantor Pertanahan Kota Bandung mengimbau warga untuk melakukan sertifikasi tanahnya, sehingga mendapat jaminan kepastian hukum.
Kepala Kantor Pertanahan Kota Bandung Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN), Andi Kadandio Alepuddin, mengatakan, masalah kepemilikan merupakan persoalan yang kerap muncul terkait pertanahan. Apalagi, kata dia, masih ada masyarakat yang menganggap sertifikat tanah tidak begitu penting.
Menurut Andi, ada warga yang baru merasakan butuhnya sertifikat tanah itu ketika sudah muncul sengketa. Ada juga yang terkait dengan kebutuhan untuk meminjam uang ke bank. “Jika tanahnya itu sudah diserobot orang (lain), tanahnya sudah dipagari orang, tanahnya sudah diklaim orang, barulah masyarakat berbondong-bondong mengurus sertifikat,” kata Andi saat “BincangRepublika” di Hotel Amaroossa, Kota Bandung, Rabu (9/3/2022).
Seiring dengan perkembangan kebutuhan akan tanah, Andi mengatakan, sengketa atau kasus pertanahan lainnya rawan terjadi. Ia mengatakan, warga jangan merasa cukup hanya berlandaskan kuitansi atau dokumen kikitir, girik, maupun letter C. Sebab, kata dia, itu hanya “alas hak”, bukan hak atas tanah.
Dengan diterbitkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2021, Andi menjelaskan, alas hak seperti itu hanya akan berlaku sampai lima tahun ke depan. “Jadi, nanti tahun 2026, kikitir, letter C itu hanya sebagai petunjuk saja, bukan sebagai alas hak untuk memiliki tanah,” kata dia.
Karena itu, Andi mengajak masyarakat, khususnya Kota Bandung, untuk mendaftarkan dan mengurus sertifikat tanahnya, sebagaimana amanat Undang-Undang Pokok Agraria. “Seharusnya alas hak yang dipunyai masyarakat segera didaftarkan (untuk mendapat sertifikat), untuk menjamin kepastian hukum,” ujar Andi.
Selain sertifikasi, Andi mengimbau warga untuk menjaga tanahnya. Sebagaimana PP Nomor 24 Tahun 1997, kata dia, pemilik tanah atau pemegang hak tanah berkewajiban menjaga, merawat, dan mengolah tanah itu dengan baik.
Langkah tersebut untuk mengantisipasi adanya penyerobotan atau “mafia tanah”. “Dengan dipagari, dimanfaatkan, dikelola. Jangan ditelantarkan. Kalau telantar atau terbengkalai begitu saja, itu berpotensi dan mengundang masyarakat yang ‘tidak beriktikad baik’ untuk menguasai tanah itu, dengan segala cara,” kata Andi.