Kamis 12 Jan 2023 05:01 WIB

Keraguan Hakim atas Peristiwa Pemerkosaan yang Dialami Putri Candrawathi

Putri Candrawathi tak pernah melakukan pemeriksaan medis pascaperistiwa pemerkosaan.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Agus Yulianto
Terdakwa Putri Candrawathi bersiap menjalani sidang lanjutan di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Jakarta, Selasa (3/1/2023). Sidang tersebut beragendakan pemeriksaan ahli meringankan yakni Said Karim sebagai ahli hukum acara pidana dan kriminologi. Dalam sidang tersebut, Said karim dimintai keterangan ahli dalam perkara dugaan kasus pembunuhan berencana terhadap Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat alias Brigadir J yang menyeret lima terdakwa diantaranya Ferdy Sambo, Putri Candrawathi, Richard Eliezer, Kuat Maruf dan Ricky Rizal. Republika/Thoudy Badai
Foto:

Dia menambahkan, hanya pernah mendapatkan pendampingan psikologis sebagai korban pemerkosaan Brigadir J. “Dan waktu itu, juga saya tidak berani untuk menceritakan semuanya kepada psikolog, karena bagi saya ini (pemerkosaan) adalah aib yang membuat saya malu,” ujar Putri.

Terkait dengan visum itu, pun hakim Wahyu menyinggung soal peran Sambo selaku suami dari Putri. Kata dia, Sambo pada saat peristiwa pembunuhan Brigadir J itu terjadi adalah seorang polisi dengan kepangkatan tinggi, sebagai Inspektur Jenderal (Irjen) atau berbintang dua.

Pun masih menjabat sebagai Kepala Divisi Propam Mabes Polri. Juga, kata Wahyu, Sambo punya pengalaman 26 tahun sebagai reserse yang matang dalam penanganan kasus-kasus, termasuk tindak pidana asusila yang membutuhkan visum sebagai pembuktian.

Akan tetapi, dikatakan Wahyu, Sambo, pun tak memberikan saran, juga tak meminta Putri melakukan visum, juga pemeriksaan diri ke dokter karena mengaku telah diperkosa. 

“Kamarin saya sampaikan di persidangan kepada suami saudara (Sambo), saat dilaporkan seperti itu (pemerkosaan), suami saudara, terdakwa FS, sebagai reserse dengan pengalaman dan jam terbang tinggi, dan sangat lama tidak membawa saudara (Putri) untuk visum. Karena itu, banyak hal yang kami pertanyakan mengapa tidak visum,” kata Wahyu.

Persoalan tentang visum ini, sebetulnya diperdalam oleh hakim untuk menjadi bukti benar atau tidaknya cerita tentang pemerkosaan yang dilakukan oleh Brigadir J terhadap Putri. Karena Putri, dan Sambo sama-sama mengaku, peristiwa pembunuhan terhadap Brigadir J di Duren Tiga 46, Jumat (8/7) itu, dipicu dari peristiwa pemerkosaan yang terjadi di rumah Magelang, Kamis (7/7). 

Namun peristiwa pemerkosaan tersebut, sampai saat ini belum dapat dibuktikan. Pun tak ada saksi yang mengetahui kejadian tersebut.

Brigadir J adalah ajudan Ferdy Sambo. Namun tugasnya melakukan pengawalan, dan sopir dari Putri saban harinya. 

Brigadir J dibunuh dengan cara ditembak mati dengan pistol. Dalam pembunuhan tersebut lima terdakwa diajukan ke persidangan. Selain Sambo, dan Putri, dalam kasus itu juga menjadikan dua ajudan lainnya, yakni Bharada Richard Eliezer (RE), dan Bripka Ricky Rizal (RR) sebagai terdakwa, bersama satu pembantu rumah tangga Kuat Maruf (KM). Tetapi tiga terdakwa lainnya itu, pun tak mengetahui tentang peristiwa pemerkosaan, atau kekerasan seksual yang terjadi di Magelang itu.

Di persidangan terungkap, penembakan terhadap Brigadir J dilakukan oleh terdakwa Richard. Anggota Brimob berusia 24 tahun tersebut menembak Brigadir J tiga sampai empat kali menggunakan pistol Glock-17. 

Akan tetapi, dalam pengakuannya di persidangan, Richard menegaskan, terpaksa menembak Brigadir J, atas perintah Sambo sebagai atasan. Richard juga mengaku, melihat Sambo turut mengeksekusi Brigadir J di kepala belakang menggunakan HS-16. Namun pengakuan Richard itu dibantah oleh Sambo. 

Dalam bantahannya di persidangan, Sambo mengaku, tak memberikan perintah menembak Brigadir J. Pun Sambo mengatakan di persidangan tak ikut menembak Brigadir J. 

Namun Sambo menegaskan bertanggung jawab atas kematian Brigadir J itu. Karena, dikatakan dia, kematian Brigadir J itu, kembali ke motif terjadinya peristiwa pemerkosaan yang dilakukan ajudannya itu terhadap Putri. 

 

Atas pembunuhan Brigadir J tersebut, kelima terdakwa terancam hukuman mati, atau penjara seumur hidup, atau selama-lamanya 20 tahun penjara. Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam dakwaannya menjerat para terdakwa dengan Pasal 340 KUH Pidana, dan Pasal 338 KUH Pidana. Pekan depan, JPU merencanakan untuk membacakan tuntutan untuk para terdakwa.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement