Ahad 26 Feb 2023 07:06 WIB

Pengamat: Perguruan Tinggi Diminta Bijak Sikapi ChatGPT untuk Pembelajaran

Sistem tersebut memberikan respons sesuai kebutuhan dan preferensi belajar mahasiswa.

Rep: M Fauzi Ridwan/ Red: Agus Yulianto
Teknologi kecerdasan buatan seperti ChatGPT dapat digunakan untuk membantu tugas harian (ilustrasi).
Foto: Unsplash
Teknologi kecerdasan buatan seperti ChatGPT dapat digunakan untuk membantu tugas harian (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- CEO Bahasa Kita Oscar Riandi mengungkapkan, kehadiran chatGPT dapat memberikan manfaat besar bagi proses pembelajaran di perguruan tinggi. Namun, penggunaan alat tersebut harus disikapi dengan bijak.

Dia mengatakan, chatGPT yaitu sistem pemrosesan bahasa alami NLP multipurpose menggunakan Generative Pre-trained Transformer (GPT) yang dirancang untuk melakukan simulasi percakapan manusia. Sistem tersebut mampu memberikan respon percakapan yang relevan dengan tetap mempertahankan pengetahuan yang terakumulasi dan kemampuan generalisasi.

Baca Juga

"Sistem ini memberikan impact yang luar biasa kepada penggunanya kalau hasilnya bagus. Akan tetapi kita juga bisa merasakan kalau dia mengalami halusinasi. Secara semantik hasilnya (jawaban) tetap koheren tapi datanya salah," ujarnya saat menjadi pembicara webinar tentang perkembangan chatGPT akhir pekan lalu di kampus Unpad dikutip dari laman unpad.ac.id.

Dia mengatakan, chatGPT dapat digunakan untuk layanan pelanggan, asisten pribadi, menulis artikel, meringkas teks, parafrase, menerjemahkan bahasa. Analisis dan menulis kode komputer.

"Ini yang perlu hati-hati, karena kalau di perguruan tinggi itu evidence based," ungkapnya.

Oskar melihat, peluang chatGPT yaitu dapat digunakan untuk pembelajaran. Sistem tersebut memberikan respons sesuai kebutuhan dan preferensi belajar mahasiswa. Selain itu mampu mengefisiensikan pembelajaran dan fleksibilitas.

Namun, penggunaan chatGPT tersebut menimbulkan risiko lain yaitu ketergantungan kepada penggunanya. Sehingga mengurangi kemampuan berpikir kritis.

Ancaman lain adalah ketidakuratan data sehingga berpotensi menghasilkan informasi keliru (hoaks) atau halusinasi, kehilangan interaksi sosial. Penggunaan yang kurang etis seperti digunakan untuk melakukan kecurangan saat ujian, serta ketidakmampuan dalam memahami nuansa bahasa.

Karena itu, Oskar mendorong, perlu integrasi penggunaan chatGPT dalam pembelajaran yang diarahkan dosen dan diatur sedemikian rupa. Sehingga dapat memperkaya proses pembelajaran tanpa menggantikan interaksi sosial dan partisipasi aktif mahasiwa.

“Dengan memperhatikan manfaat dan risiko penggunaan chatGPT, teknologi ini dapat memberikan manfaat maksimal bagi proses pembelajaran di perguruan tinggi,” ujarnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement