Jumat 30 Jun 2023 15:10 WIB

Politisasi Identitas, Disinformasi, Ujaran Kebencian Mulai Bertebaran di Medsos 

Konten itu dapat membuat masyarakat tidak nyaman mengikuti Pemilu 2024. 

Rep: Febriyan A/ Red: Agus Yulianto
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menyebut, penyebaran konten terkait politik identitas, disinformasi, dan ujaran kebencian di media sosial mulai masif.
Foto: ANTARA/Reno Esnir
Ketua Bawaslu Rahmat Bagja menyebut, penyebaran konten terkait politik identitas, disinformasi, dan ujaran kebencian di media sosial mulai masif.

REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Konten-konten terkait politik identitas, disinformasi, dan ujaran kebencian mulai bermunculan di media sosial, meski tahapan kampanye Pemilu 2024 belum dimulai. Konten semacam itu diyakini membahayakan integritas dan keberhasilan pemilu. 

Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI Rahmat Bagja mengatakan, penyebaran konten terkait politik identitas, disinformasi, dan ujaran kebencian di media sosial sebenarnya mulai masif saat Pilkada DKI 2017. Penyebaran konten dengan tiga aspek tersebut terus berlanjut dan kembali masif saat gelaran Pemilu 2019. 

"(Saat Pemilu 2019), bahkan ada kecenderungan juga mengadu teman TNI dan Polri pada titik itu,” kata Bagja dalam acara Diskusi Kelompok Terpumpun Perumusan Ancaman Non-Militer Antar Kementerian/Lembaga di Jakarta, dikutip Jumat (30/6/2023). 

Bagja mengakui, konten dengan tiga aspek merusak itu sudah mulai bermunculan saat ini. Sama halnya dengan Pilkada DKI 2017 yang diwarnai konten yang menunjukkan sikap permusuhan kepada ras tertentu, kini unggahan semacam itu kembali bermunculan. 

"Sekarang kalau kita lihat, sekarang muncul lagi di media sosial dan juga muncul ujaran kebencian. Sekarang sudah mulai, menyerang beberapa peserta pemilu. Beberapa kali kita baca Twitter, walau kemudian kita baca bahasanya masih lumayan soft, tapi sudah mulai menyerang lawan-lawan politik,” kata Bagja. 

Bagja menjelaskan, politisasi identitas di Indonesia berkaitan dengan masalah etnis, ideologi, kepercayaan, dan kepentingan-kepentingan lokal yang direpresentasikan oleh elit melalui artikulasi politik mereka. Sedangkan disinformasi merujuk pada penyebaran informasi yang salah, menyesatkan, atau disengaja untuk menipu atau mempengaruhi opini publik. 

Adapun ujaran kebencian adalah pernyataan atau konten yang memperkuat sentimen atau sikap permusuhan, kebencian, atau diskriminasi terhadap individu atau kelompok berdasarkan ras, etnis, agama, gender, orientasi seksual, atau karakteristik tertentu lainnya. 

Menurut Bagja, ketiga aspek itu sangat mungkin berpadu dan semakin masif bertebaran di media sosial saat masa kampanye Pemilu 2024. Menurutnya, hal itu dapat membuat masyarakat tidak nyaman mengikuti Pemilu 2024. 

Sebagai upaya antisipasi dan penindakan, Bagja menyatakan Bawaslu telah menyiapkan beberapa strategi. Beberapa di antaranya adalah penguatan regulasi dan hukum terkait peningkatan kapasitas SDM pengawas, penegakan hukum dan sanksi, kampanye edukasi dan sosialisasi, serta kerja sama di ruang digital. 

Bawaslu, dia melanjutkan, juga sudah membuat indeks kerawanan pemilu (IKP). "Dalam konteks IKP, Bawaslu melakukan penilaian terhadap berbagai hal yang berkaitan apa saja yang kemudian bisa menjadi titik rawan pemilu terutama yang berkaitan dengan isu sosial politik,” ujarnya.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement