REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kasus korupsi tidak hanya dilakukan oleh para pejabat pemerintahan. Namun, tindak pidana ini juga menyeret sejumlah perwira tinggi (pati) TNI saat masih aktif berdinas.
Salah satunya, yakni Kepala Basarnas, Marsekal Madya (Marsdya) Henri Alfiandi. Dia terjerat dalam kasus korupsi pengadaan alat pendeteksi korban reruntuhan di lembaganya saat masih aktif berdinas.
Hal itu terungkap usai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menggelar operasi tangkap tangan (OTT) pada Selasa (25/7/2023). Bawahan Henri, yakni Letkol Adm Afri Budi Cahyanto terjaring dalam operasi senyap tersebut.
Setelah Pusat Polisi Militer (Puspom) TNI melakukan penyidikan, nama Henri pun ikut terseret. Hingga akhirnya jenderal bintang tiga itu dan Afri ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus ini.
Total, ada lima tersangka pada kasus tersebut. Tiga tersangka lainnya merupakan pemberi suap kepada Henri melalui bawahannya, yakni Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati, Mulsunadi Gunawan (MG), Dirut PT Intertekno Grafika Sejati Marilya dan Dirut PT Kindah Abadi Utama Roni Aidil.
KPK telah menahan ketiga tersangka dari pihak swasta itu selaku penyuap. Sedangkan proses hukum Henri dan Afri ditangani oleh Puspom TNI lantaran masih menjadi prajurit aktif saat terlibat kasus suap. Keduanya kini sudah ditahan di instalasi tahanan militer di Puspom TNI AU.
KPK mengungkapkan, dalam kasus ini Henri diduga mendapat fee 10 persen dari berbagai proyek di Basarnas sejak 2021-2023. Dia mengantongi uang suap hingga mencapai Rp 88,3 miliar.
Pati dari Matra Angkatan Udara (AU) ini disebut menentukan langsung besaran fee tersebut. Uang yang diserahkan disebut sebagai dana komando atau dako.
Rinciannya, Mulsunadi memerintahkan Marilya menyerahkan duit sebesar Rp 999,7 juta di parkiran salah satu bank di Cilangkap, Jakarta Timur. Sedangkan dari Roni menyerahkan Rp 4,1 miliar dari aplikasi setoran bank.
KPK pun telah memeriksa Henri dan Afri pada Rabu (8/8/2023). Berdasarkan hasil pemeriksaan itu, keduanya mengakui telah menerima uang dari Komisaris Utama PT Multi Grafika Cipta Sejati, (MG) agar dapat memenangkan lelang proyek di Basarnas.
Kepala Bagian Pemberitaan KPK, Ali Fikri mengatakan, Henri dan Afri diperiksa sebagai saksi untuk tersangka Mulsunadi Gunawan. Pemeriksaan itu dilakukan di Mako Puspom TNI.
"Informasi dari teman-teman yang melakukan riksa, keduanya (Henri dan Afri) koperatif mengakui adanya dugaan penerimaan sejumlah uang dari pihak swasta terkait dengan lelang proyek di Basarnas dimaksud," kata Ali di Jakarta, Jumat (11/8/2023).
Ali tak menjelaskan lebih rinci mengenai jumlah uang yang diterima Henri. Namun, dia memastikan, KPK bakal mengusut tuntas kasus suap pengadaan alat pendeteksi korban reruntuhan di Basarnas.
"Proses penyidikan di Basarnas akan terus kami lakukan dengan pemeriksaan saksi-saksi," ujar Ali.
Sebelum kasus yang menjerat Henri mencuat, ada dua jenderal TNI lainnya yang juga tersandung korupsi. Pertama, Laksamana Pertama (Laksma) Bambang Udoyo pada Desember 2017 lalu.
Bambang diduga terlibat suap proyek satelit pengawasan di Badan Keamanan Laut (Bakamla). Dia terjerat saat masih menjabat sebagai Direktur Data dan Informasi Bakamla.
Jenderal bintang satu itu pun telah menjalani sidang atas kasus suap tersebut. Pengadilan Tinggi Militer Jakarta menjatuhkan vonis terhadap Bambang, yakni hukuman penjara 4 tahun 6 bulan dan denda Rp 200 juta subsider penjara selama 3 bulan serta dipecat dari TNI Angkatan Laut (AL).
Bambang terbukti bersalah dalam kasus tersebut. Ia dinyatakan secara sah melakukan tindak pidana korupsi.
Adapun ia didakwa menerima suap senilai SGD 105 ribu atau sekitar Rp 1 miliar dari PT Melati Technofo. Uang tersebut diterima sebagai hadiah karena telah memenangkan lelang terkait proyek pengadaan satelit pengawasan di Bakamla.
Bambang menerima uang tersebut dari Fahmi Darmawansyah melalui anak buah senilai 100 ribu dolar Singapura. Uang tersebut diberikan di ruangan Bambang di kantor Bakamla pada 6 Desember 2016.
Jenderal berikutnya yang terjerat kasus korupsi adalah Brigjen Teddy Hernayadi. Dia diduga melakukan korupsi anggaran pembelian alat utama sistem persenjataan (alutsista) 2010-2014 di Kementerian Pertahanan (Kemenhan) sebesar 12 juta dolar Amerika Serikat.
Pengadilan Tinggi Militer Jakarta bahkan telah menjatuhkan vonis penjara seumur hidup terhadap perwira tinggi Angkatan Darat (AD) ini pada November 2016 silam. Dia terbukti melakukan penyalahgunaan wewenang yang berakibat pada kerugian keuangan negara. Modus kecurangannya dengan menandatangani atau menerbitkan surat tanpa izin dari atasannya, yakni Kepala Pusat Keuangan Kementerian Pertahanan, dan Menteri Pertahanan selaku pengguna anggaran.