Kamis 02 Nov 2023 14:51 WIB

Darurat Sampah di Bandung Diperpanjang, DLH: Butuh Waktu Ubah Perilaku

DLH menyebut masa darurat sampah disarankan lebih lama.

Rep: Dea Alvi Soraya/ Red: Irfan Fitrat
Sekretaris Daerah Kota Bandung Ema Sumarna meninjau penggalian lubang untuk pengolahan sampah organik di kawasan Tegallega, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (1/11/2023).
Foto: Edi Yusuf/Republika
Sekretaris Daerah Kota Bandung Ema Sumarna meninjau penggalian lubang untuk pengolahan sampah organik di kawasan Tegallega, Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (1/11/2023).

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — Masa darurat sampah di Kota Bandung, Jawa Barat, diperpanjang mulai 26 Oktober hingga 26 Desember 2023. Menurut Kepala Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kota Bandung Dudy Prayudi, masih ada sejumlah permasalahan persampahan yang mesti ditangani.

Dudy menjelaskan, perpanjangan masa darurat sampah itu merujuk Peraturan Daerah (Perda) Kota Bandung Nomor 9 Tahun 2018 tentang Pengelolaan Sampah. Dalam perda, kata dia, ada sejumlah kriteria situasi darurat pengelolaan sampah. Di antaranya terganggunya sistem operasi pengumpulan, pengangkutan, pengolahan, dan pemrosesan akhir sampah.

Baca Juga

Setelah dikaji oleh tim ahli, menurut Dudy, Kota Bandung dinilai masih memenuhi kriteria situasi darurat pengelolaan sampah. Karena itu, masa darurat sampah diperpanjang hingga 26 Desember 2023. “Sebetulnya, kata tim ahli, harusnya lebih dari itu karena memang membutuhkan waktu untuk proses penormalan,” kata Dudy, Rabu (1/11/2023).

Salah satunya terkait pengangkutan sampah. Menurut Dudy, Kota Bandung membutuhkan sekitar 250 ritase pengangkutan sampah per hari ke tempat pembuangan akhir (TPA). Namun, sejak terjadi kebakaran di TPA Sarimukti, Kabupaten Bandung Barat, pada Agustus lalu, ritase dibatasi.

Dudy mengatakan, saat ini ritase harian baru sekitar 150. “Kalau berbicara ideal sih belum karena kan kita masih punya banyak PR (pekerjaan rumah). Sejak 22 Agustus hingga 1 September itu kan kita tidak bisa buang ke sana (TPA Sarimukti), sementara orang-orang buang sampah terus. Ini juga kan masih ada PR yang belum selesai,” kata dia.

Menurut Dudy, ditambah lagi dengan produksi sampah sejak 1 September sampai saat ini. Ia mengakui masih ada penumpukan sampah di sejumlah tempat penampungan sementara (TPS). Ia menyebut saat ini ada sekitar 37 ribu ton sampah yang belum terangkut. Untuk pengangkutannya, kata dia, dibutuhkan setidaknya 8.000 ritase.

Pada masa darurat, Pemkot Bandung memutuskan TPS hanya digunakan untuk menampung sampah jenis residu, yaitu sampah yang sulit untuk didaur ulang atau dimanfaatkan kembali. Ternyata muncul masalah timbulan sampah di pinggiran jalan. 

“Sekarang banyak masyarakat yang buang di pinggir jalan karena TPS sekarang hanya menerima sampah residu. Sementara masyarakat belum siap, Akhirnya dibuang ke jalan. Nah, ini juga jadi problem kita, kita harus angkut,” kata Dudy.

Mengubah perilaku

Pada masa darurat ini, Pemkot Bandung berharap ada perubahan perilaku dalam masalah persampahan. Biasanya, kata Dudy, yang dilakukan hanya mengumpulkan sampah dan membuangnya. Perilakunya diharapkan berubah menjadi mengumpulkan, memilah, dan mengolah sampah. “Walaupun pasti butuh waktu karena ini kan mengubah perilaku ya,” kata Dudy.

Dudy menilai, dibutuhkan tekad untuk bisa mengubah perilaku terkait masalah persampahan ini. Untuk itu, kata dia, Pemkot Bandung berupaya terus bersinergi dengan berbagai pihak untuk mendorong pengelolaan sampah mandiri.

“Kalau sosialisasi terus setiap hari, kita sosialisasi. Pak Sekda (Sekretaris Daerah Kota Bandung) sendiri kan langsung turun ke lapangan ya, ke kecamatan-kecamatan, untuk memotivasi segala elemen yang ada di agar bareng-bareng kita selesaikan sampah ini,” ujar Dudy.

Dalam upaya normalisasi, Dudy mengatakan, salah satu yang menjadi fokus adalah pengolahan sampah organik. Menurut dia, untuk itu dibutuhkan dukungan anggaran, sehingga diharapkan realisasi rencana pengolahan sampah bisa dilakukan lebih cepat.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement