Kamis 22 Aug 2024 18:21 WIB

Blokade Jalan, Mahasiswa Majalengka Kawal Putusan MK dan Protes DPR

Aksi itu bertujuan untuk mendesak DPR agar menghormati putusan MK

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Arie Lukihardianti
Ratusan mahasiswa memblokade ruas Jalan Utama KH Abdul Halim Kabupaten Majalengka, sebagai bagian dari gerakan
Foto: Dok Republika
Ratusan mahasiswa memblokade ruas Jalan Utama KH Abdul Halim Kabupaten Majalengka, sebagai bagian dari gerakan "Peringatan Darurat Indonesia", Kamis (22/8/2024).

REPUBLIKA.CO.ID, MAJALENGKA--Gelombang aksi mahasiswa yang menyuarakan protes terhadap DPR terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Tak terkecuali di Kabupaten Majalengka, ratusan mahasiswa turun dan memblokade ruas Jalan Utama KH Abdul Halim, Kamis (22/8/2024).

Mahasiswa dari berbagai perguruan tinggi di Kabupaten Majalengka itu tergabung dalam Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Majalengka. Dalam aksinya,  mereka menutup akses Jalan Utama KHM Abdul Halim, sehingga memaksa polisi mengalihkan arus lalu lintas ke jalur alternatif.

Baca Juga

Aksi itu merupakan bagian dari gerakan "Peringatan Darurat Indonesia" yang viral di media sosial. Gerakan tersebut muncul sebagai respons atas sikap DPR, yang dianggap mengamputasi demokrasi dengan mengabaikan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait pilkada.

Dalam orasinya, salah seorang peserta aksi mengungkapkan bahwa demokrasi kini sedang berada di ujung tanduk akibat sikap DPR. ‘’Dengan piciknya, para penguasa mengamputasi demokrasi yang telah diperjuangkan sejak dulu,’’ ujar sang orator.

Ketua HMI Cabang Majalengka mengatakan, Rizfan Alauzi Hidayatusidqi, aksi itu bertujuan untuk mendesak DPR agar menghormati putusan MK. Menurutnya, langkah DPR yang terus memaksakan pembahasan revisi UU Pilkada meskipun sudah jelas bertentangan dengan putusan MK, adalah bentuk pelecehan terhadap hukum dan demokrasi di Indonesia. ‘’Ada dua poin krusial dalam revisi ini yang secara terang-terangan tidak merujuk pada putusan MK,’’ kata Rizfan.

Pertama, kata Rizfan, perubahan syarat ambang batas pencalonan pilkada dari jalur partai hanya berlaku untuk partai yang tidak punya kursi di DPRD. Padahal, putusan MK telah menghapus syarat tersebut.

Kedua, mengenai batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur yang justru mengacu pada putusan Mahkamah Agung (MA) dan bukan MK. Hal itu dinilai melanggengkan politik dinasti serta menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum.

Rizfan juga menyoroti proses pembahasan revisi UU Pilkada oleh para wakil rakyat yang berlangsung sat set dan terkesan dipaksakan. ‘’Pembahasan hingga pengesahan RUU Pilkada dilakukan dalam waktu kurang dari tujuh jam,’’ katanya.

Mahasiswa Majalengka pun mengancam akan terus menggelar aksi jika aspirasi mereka tak direspon.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement