REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU--Angka pengajuan dispensasi kawin di Kabupaten Indramayu masih tinggi. Kondisi hamil di luar nikah menjadi faktor dominan yang menyebabkan pengajuan dispensasi kawin tersebut.
Hal itu terungkap dari hasil kajian yang dilakukan International NGO Forum on Indonesian Development (Infid). Pada 2023, pengajuan dispensasi kawin di Kabupaten Indramayu sebanyak 514 perkara. Jumlah tersebut memang sudah menurun dibandingkan 2022 yang mencapai 574 perkara dan pada 2021 sebanyak 654 perkara.
Program Officer Inqeuality, Partnership, and Membership Infid, Andi Nur Faizah, menjelaskan, dari angka dispensasi kawin itu, sebesar 88 persen di antaranya dikarenakan faktor mendesak. Yakni, hamil di luar nikah.
Selain itu, sepuluh persen penyebab dispensasi kawin juga karena faktor desakan dari orang tua agar anaknya segera menikah. ‘’Orang tua menganggap anaknya sudah saling cinta, jadi dikawinkan saja,’’ ujar Andi, saat ditemui di sela Forum Diskusi Grup (FGD) di salah satu hotel di Kabupaten Indramayu, Selasa (3/12/2024).
Andi mengatakan, dari hasil riset, terungkap adanya kekhawatiran orang tua yang melihat hubungan anak dan pacarnya yang dekat. Mereka khawatir anaknya berbuat zina atau menimbulkan fitnah dan aib.
Ia menjelaskan, pernah menemukan ada satu kasus anak yang dipaksa menikah oleh orang tuanya karena berboncengan dengan laki-laki saat malam hari pada pukul 21.00-22.00 WIB. Meski sang anak mengaku tidak memiliki hubungan khusus dengan laki-laki tersebut, namun orang tuanya memaksa anak itu untuk menikah.
Selain itu, Infid juga pernah menemukan adanya upaya manipulasi yang dilakukan oleh orang tua untuk segera menikahkan anaknya. Hal itu terungkap dari pengakuan seorang bidan, yang pernah didatangi oleh orang tua yang meminta agar dibuatkan surat keterangan hamil palsu untuk anaknya.
Meski anak itu tidak hamil, namun orang tua tersebut meminta surat keterangan hamil palsu untuk memuluskan pengajuan dispensasi kawin untuk anaknya ke Pengadilan Agama. ‘’Dispensasi kawin kebanyakan memang diajukan oleh pihak keluarga perempuan, yakni sebesar 82 persen. Sisanya 18 persen diajukan oleh pihak keluarga laki-laki,’’ katanya.
Andi pun mengaku prihatin karena usia perempuan yang mengajukan dispensasi kawin ada yang di rentang 12-16 tahun. Yakni, sebesar 24 persen. Selain itu, 74 persen di rentang usia 16-19 tahun dan dua persen di usia 19 tahun keatas.
Sedangkan usia laki-laki yang menjadi calon suami yang ingin dinikahan itu sebanyak 58 persen sudah berusia lebih dari 19 tahun, 38 persen di rentang 16-19 tahun, dan empat persen di rentang 12-16 tahun. ‘’Untuk pekerjaan calon suaminya mayoritas informal,’’ katanya.
Andi mengatakan, sekitar 30 persen calon suami dari pengaju dispensasi kawin itu bekerja sebagai pedagang dan 24 persen sebagai buruh harian lepas. Sedangkan dari segi penghasilan, 42 persen di antaranya berpenghasilan tidak pasti, 36 persen berpenghasilan Rp 2,1 juta – Rp 3 juta, dan delapan persen lebih dari Rp 3 juta.
‘’Dan perempuan (yang mengajukan dispensasi kawin) itu rata-rata tidak bekerja sehingga akhirnya menyebabkan anak-anak perempuan ini justru dimiskinkan dengan kondisi kawin dini,’’ kata Andi.