REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG BARAT -- Duka mendalam begitu dirasakan keluarga Muhammad Ilham (26), warga Kampung Tanjungsari, RT 01/01, Desa Ganjarsari, Kecamatan Cikalongwetan, Kabupaten Bandung Barat (KBB), Jawa Barat. Pria penyandang disabilitas mental itu, tutup usia dimasa menjalani pengobatan di Rumah Solusi Himathera Indonesia.
Ilham berpulang dalam kondisi tubuh penuh luka lebam dan tanda-tanda kekerasan yang mengundang tanya keluarga. Sebuah kabar ironis bagi keluarga, yang alih-alih kembali dengan senyum lega karena terapi, almarhum kembali dengan posisi tubuh sudah dibalut kain kafan.
Ela Rosala (33), kakak ipar Ilham, masih mengingat jelas bagaimana keputusan itu dibuat pada 7 Mei 2025. Awalnya keluarga mendapat informasi bahwa rumah terapi itu cukup mampu mengusahakan kesembuhan kesehatan mental. Dengan hati penuh harapan bisa sembuh, keluarga menitipkan Ilham ke rumah terapi tersebut dengan kondisi sehat secara fisik.
"Akhirnya kami sepakat tanggal 7 Mei 2025 membawa Ilham ke sana (rumah terapi). Karena kan informasinya katanya bagus," ujar Ela, Rabu (10/9/2025).
Namun, sejak hari pertama, harapan itu pelan-pelan berubah menjadi kabut kecurigaan. Apalagi ketika mengantar Ilham, pihak rumah terapi melarang ada komunikasi langsung selama 6 bulan. Sejak saat itu tak ada lagi suara di telepon, tak ada kunjungan keluarga, hanya kabar sepenggal-sepenggal dari mulut pengelola. Sementara biaya bulanan lebih dari Rp 1 juta rutin disetorkan setiap bulan untuk biaya pengobatan.
Puncak tragedi itu datang pada Kamis 21 Agustus 2025. Pengelola mengabarkan bahwa Ilham mengeluh sakit dada dan mata sehingga harus dibawa ke rumah sakit. Namun pada Jumat, 22 Agustus 2025 sekitar pukul 04.00 WIB kabar duka malah diterima keluarga. Ilham dinyatakan sudah meninggal dunia.
Keluarga akhirnya menyusul Ilham ke rumah terapi yang berada di Pangandaran. Saat keluarga tiba di Pangandaran, jenazah Ilham masih terbaring di rumah terapi, bukan di rumah sakit seperti informasi yang disampaikan pengelola sebelumnya. Anehnya tak ada selembar pun surat keterangan kematian maupun riwayat penyakit dari fasilitas medis mana pun.
Jenazah Ilham akhirnya dibawa pulang keluarga menggunakan ambulans desa. Setibanya di rumah sampai di rumah duka, keluarga memutuskan untuk memandikan lagi Ilham. Ela dan keluarga lainnya terkejut karena jasad adik iparnya terdapat luka di sejumlah bagian tubuhnya.
"Mata Ilham lebam, ada bekas sundutan rokok di kaki, badannya kurus kering, telinga biru seperti kena pukul," kata Ela.
Keluarga yang penasaran dan mencium adanya kejanggalan akhirnya memutuskan untuk dilakukan autopsi terhadap jasad Ilham di Rumah Sakit Sartika Asih pada 23 Agustus 2025. Menurut dokter forensik, kata Ela, Ilham diduga sudah meninggal lebih dari sepekan sebelum pengelola rumah terapi menyampaikan kabar duka itu.
Keluarga semakin meyakini Ilham meninggal secara tak wajar sehingga memutuskan untuk menempuh jalur hukum. Keluarga pun melapor ke Polda Jawa Barat, meski belakangan kasus dilimpahkan ke Polres Pangandaran. Ela meyakini polisi akan mengusut tuntas kasus yang dialami adik iparnya. "Kami ingin keadilan. Ini bukan kematian biasa. Ada yang disembunyikan," kata Ela.
Di balik luka-luka itu, keluarga masih mengingat sosok Ilham yang begitu ceria dan dikenal rajin. Menurut Empat (57), bibinya, meski Ilham pernah menjalani perawatan kejiwaan, ia bukanlah sosok yang sepenuhnya terputus dari dunia nyata. "Ilham itu anaknya rajin. Di rumah dia bantu bertani jagung, ubi. Dia gak ngelantur. Kalau diajak ngobrol, masih nyambung. Kadang bercanda juga," kata Empat.
Klarifikasi Rumah Solusi Himathera Indonesia
Di tengah derasnya tuduhan, pemilik Rumah Solusi Himathera Indonesia, Dede membantah tudingan bahwa Ilham mengalami kekerasan di dalam rumah terapinya. Menurutnya tanda-tanda yang dilihat keluarga bukanlah hasil kekerasan, melainkan kondisi medis.
"Telinga abses (bisul). Selain itu dia juga penyakit kulit karena orangnya enggak diam. Makanya itu sudah diperiksa di bidan. Dan saya gak pernah memarahi atau memaki atau menganiaya Ilham. Saya secara pribadi bersama teman-teman di Himathera tidak pernah melakukan kekerasan ke Ilham. Saya juga minta berita yang imbang," kata Dede.
Ia menegaskan, peristiwa ini membuatnya harus lebih berhati-hati dalam menerima pasien ke depannya. "Dengan adanya kejadian sekarang ini, bisa mempengaruhi ke depannya. Karena saya sekarang gak mau menerima terapi tanpa kesepakatan yang jelas," kata Dede.