REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam (FEBI) UIN Sunan Gunung Djati Bandung, Prof. Dr. Hj. Lilis Sulastri, S.Ag., MM., menegaskan pentingnya menghidupkan kembali semangat santri sebagai energi moral dan spiritual bangsa. Dalam refleksi bertajuk “Energi Santri untuk Negeri: Menyambung Api Sumpah Pemuda,” ia mengajak seluruh generasi muda untuk meneladani nilai keikhlasan, kesederhanaan, dan nasionalisme yang telah diwariskan para santri sejak masa perjuangan kemerdekaan.
Menurut Lilis, sejarah bangsa Indonesia tidak bisa dilepaskan dari peran santri dan pesantren. “Pesantren bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi rahim kebudayaan tempat iman, ilmu, dan Indonesia disatukan dalam satu jiwa spiritual,” ujar Lilis, Kamis (30/10/2025).
Ia menilai, semangat Sumpah Pemuda 1928 sejatinya telah lama hidup di kalangan santri. Resolusi Jihad 22 Oktober 1945 yang dicetuskan KH Hasyim Asy’ari disebut sebagai bukti nyata bahwa cinta tanah air bagi santri adalah bagian dari iman. “Membela Indonesia adalah bentuk tertinggi dari ibadah sosial,” kata Lilis.
Lilis pun mengutip pandangan Imam Al-Ghazali bahwa ilmu tanpa amal adalah kegilaan, dan amal tanpa ilmu adalah kesia-siaan. Prinsip ini, menjadi napas kehidupan santri yang menggabungkan ilmu dan akhlak, amal dan keteguhan.
“Energi santri bukan energi politik semata, tetapi energi moral yang menuntun bangsa berdiri di atas nilai,” katanya.
Ia menambahkan, kekuatan santri bukan pada kekuasaan, tetapi pada penguasaan diri, keteguhan prinsip, serta semangat belajar tanpa henti. Lilis mengingatkan, di era digitalisasi dan globalisasi, santri dituntut tidak hanya memahami kitab kuning, tetapi juga “kitab dunia” seperti teknologi, ekonomi, dan ekologi. Namun, ia menegaskan bahwa kompas nilai santri tetaplah iman dan kemaslahatan.
“Santri hari ini bisa menjadi penggerak ekopreneur, pelopor green pesantren, inovator sosial digital, hingga diplomat budaya,” katanya.
Semua itu, kata dia, harus dijalankan dengan nilai-nilai dasar santri: jujur, amanah, ikhlas, berilmu, dan cinta tanah air. Lilis menilai, energi santri sebagai cahaya yang menuntun bangsa dari dalam, bukan api yang membakar. Ia mengutip pesan Rumi, 'Jadilah cahaya, bukan api. Sebab cahaya menerangi, sementara api membakar'.
“Jika api Sumpah Pemuda adalah simbol persatuan, maka energi santri adalah bahan bakarnya yang abadi. Selama masih ada santri yang mengaji dengan hati tulus dan bekerja dengan niat suci, Indonesia tidak akan kehilangan arah,” paparnya.
Menurutnya, energi santri untuk Negeri bukan hanya slogan, melainkan seruan untuk menjaga bara iman dan ilmu dalam diri setiap anak muda Indonesia. “Santri bukan hanya pewaris sejarah, tetapi penulis masa depan. Dalam kesederhanaan mereka tersimpan kekuatan besar untuk membangun Indonesia yang adil, beradab, dan berketuhanan,” kata Lilis.