Kamis 21 Oct 2021 06:38 WIB

Pengrajin Gerabah Sitiwinangun Bertahan di Perubahan Zaman

Keterampilan pembuatan gerabah awalnya diajarkan penyebar agama Islam syekh Dinureja

Rep: lilis sri handayani/ Red: Hiru Muhammad
Sukari (70), pengrajin gerabah di Desa Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, sedang membuat produk cobek pecel lele.
Foto: Republika/Lilis Sri Handayani
Sukari (70), pengrajin gerabah di Desa Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang, Kabupaten Cirebon, sedang membuat produk cobek pecel lele.

REPUBLIKA.CO.ID, CIREBON--Cirebon memiliki beragam kekayaan budaya yang tetap lestari melintasi zaman. Salah satunya adalah kerajinan gerabah. Sentra pembuatan gerabah di Kabupaten Cirebon terletak di Desa Sitiwinangun, Kecamatan Jamblang. Karenanya, gerabah tersebut lebih dikenal dengan nama ‘gerabah Sitiwinangun’. Asal-usul nama Sitiwinangun pun tak lepas dari aktivitas penduduk setempat yang membuat kerajinan gerabah sejak abad ke-15.

Keterampilan pembuatan gerabah yang dimiliki warga di Desa Sitiwinangun itu awalnya diajarkan oleh tokoh penyebar agama Islam bernama Syekh Dinureja. Hingga kini, keterampilan pembuatan gerabah itu tetap lestari, diturunkan dari generasi ke generasi.

Seperti yang dialami Yuwati (42). Pengrajin gerabah itu menguasai keterampilan membuat kerajinan gerabah dari orang tuanya. Selanjutnya, dia pun menurunkan keterampilan itu pada anak-anaknya.

Sejak kecil sampai sekarang, Yuwati masih tetap setia menjadi pengrajin gerabah. Setiap hari, dia membuat berbagai produk gerabah di depan rumahnya sendiri. Dari usahanya itu, dia bisa menyokong ekonomi keluarganya. ‘’Dalam sehari, saya biasanya membuat 25 - 50 buah (produk gerabah),’’ kata Yuwati.

 

Yuwati membuat produk gerabah sesuai dengan permintaan pasar. Untuk saat ini, permintaan gerabah yang laris adalah cobek untuk tahu gejrot, salah satu kuliner khas Cirebon. Produk lainnya yang juga tengah laris adalah cobek untuk pecel lele, kendi dan tungku serabi.

Untuk membuat gerabah, Yuwati membutuhkan bahan baku utama berupa tanah liat. Namun, tak sembarang tanah liat, melainkan harus yang bertekstur halus. Pemenuhan kebutuhan tanah liat yang halus itu benar-benar dijaga oleh pengrajin sehingga gerabah Sitiwinangun dikenal dengan kualitasnya yang bagus.

Yuwati memperoleh tanah liat itu dengan membelinya seharga Rp 200 ribu per mobil bak. Namun, tanah liat itu masih tercampur dengan batu dan pasir. Untuk menjadi halus, tanah liat harus digiling terlebih dulu dengan menggunakan mesin, yang disediakan oleh pemerintah desa setempat.

Setelah siap, Yuwati lantas membentuk tanah liat itu menjadi beragam produk. Pembuatan produk gerabah itu dilakukan secara manual, dengan menggunakan semacam piring yang diputar menggunakan kaki.

‘’Pembuatan gerabah ini tergantung suasana hati. Kalau hatinya lagi gak tenang dan ada masalah, ya gak jadi-jadi,’’ tutur Yuwati.

Gerabah yang telah terbentuk selanjutnya dijemur dan diberi pewarna. Untuk pewarnanya, digunakan tanah merah sehingga benar-benar alami. Produk gerabah selanjutnya dibakar, dengan menggunakan jerami dan ban bekas. Para pengrajin pun biasa menyetok jerami saat musim panen di sawah.

Setelah selesai, gerabah itu selanjutnya dikumpulkan terlebih dulu. Biasanya hingga mencapai 500 buah dalam waktu sekitar satu bulan. Selanjutnya, produk gerabah disetorkan kepada pengepul yang siap memasarkan produk gerabah Sitiwinangun ke berbagai kota di Indonesia.  

Yuwati mengatakan, usaha kerajinan gerabahnya tetap berjalan meski di masa pandemi Covid-19. Berbagai produk yang dibuatnya, selalu dibeli oleh pengepul.‘’Alhamdulillah jalan terus. Walau pandemi, gerabah tetap laku,’’ tukas Yuwati.

Hal senada diungkapkan pengrajin gerabah lainnya, Sukari (70). Dia pun mengaku usaha kerajinan gerabahnya tetap eksis meski dilanda pandemi Covid-19.‘’Gerabah tetap jalan, tetap laku,’’ tutur Sukari.

Di usianya yang senja, Sukari pun masih setia menjalani usaha pembuatan gerabah di rumahnya. Sama seperti Yuwati, produk gerabah yang kini sedang dibuatnya adalah cobek untuk tahu gejrot dan pecel lele.

Sukari menceritakan, sewaktu tanaman janda bolong viral beberapa waktu lalu, pesanan pot gerabah mengalir deras. Namun, pesanan itu kembali sepi seiring maraknya pot dari bahan plastik.

‘’Saingan gerabah ya plastik. Padahal kalau dibandingkan pot plastik, tanaman akan lebih subur jika ditanam di pot gerabah yang terbuat dari tanah liat,’’ cetus Sukari, yang menguasai keterampilan pembuatan gerabah dari orang tuanya.

Meski harus bersaing dengan produk plastik, Sukari tetap setia memutar alat pembuat gerabahnya setiap hari. Keterampilan itupun diajarkannya kepada anak dan cucunya hingga gerabah Sitiwinangun tetap lestari. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement