Selasa 18 Jan 2022 17:35 WIB

Ahli: Daripada Polisi Tewas, Lebih Bagus Penjahat yang Mati

Kejadian yang terjadi di KM 50 tol Japek adalah serangkaian proses hukum resmi.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Agus Yulianto
Terdakwa kasus unlawfull killling atau pembunuhan Laskar Front Pembela Islam (FPI) yaitu Briptu Fikri Ramadhan usai menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Foto:

Warasman, dihadirkan sebagai ahli yang diajukan tim pengacara terdakwa Briptu Fikri, dan Ipda Yusmin ke persidangan. Warasman, di dalam sidang tersebut, sekaligus sebagai saksi dari kepolisian yang meringankan bagi dua terdakwa itu.  

Warasman mengatakan, situasi yang terjadi saat peristiwa KM 50 tersebut, masuk kategori bahaya. Sebab, kata dia, adanya dua kali aksi perlawanan yang dilakukan enam anggota Laskar FPI. Perlawanan pertama yang menewaskan dua orang. Yakni Faiz Ahmad Syukur, dan Andi Oktaviawan di KM 50. Sedangkan perlawanan kedua, berawal dari upaya kepolisian menangkap hidup empat anggota Laskar FPI lainnya di KM 50+200. Empat tersebut, yakni Muhammad Lutfi, Ahmad Sofiyan, Suci Khadavi, dan M Reza. 

Akan tetapi, dikatakan Warasman, keempat anggota laskar itu setelah ditangkap hidup, melakukan perlawanan di dalam mobil kepolisian, saat hendak dibawa ke Polda Metro Jaya. Dari rangkaian kejadian, kata Warasman, keempat anggota Laskar FPI tersebut, melawan, dan menyerang, dan berusaha merebut senjata api milik Briptu Fikri. 

Aksi melawan, dan merebut senjata api tersebut, yang dikatakan Warasman, sebagai situasi yang berbahaya bagi anggota kepolisian. Sebab itu, dia menyatakan, membolehkan peristiwa penggunaan senjata api yang mematikan anggota FPI tersebut.

“Artinya, penggunaan senjata api itu, dalam hal menghadapi keadaan, dan situasi yang luar biasa. Kenapa disebut luar biasa, karena sudah membahayakan anggota kepolisian, skala merah. Kalau tidak bertindak (menembak mati), maka polisi yang mati (tertembak), atau temannya yang mati,” kata Warasman. 

Dalam kasus ini, selain Briptu Fikri, yang melepaskan tembakan juga adalah Ipda Elwira Priyadi, dan Ipda Yusmin yang mengendalikan setir mobil dari Karawang-Bekasi, menuju ke Polda Metro Jaya.

Warasman mendalilkan pendapatnya dengan mengutip Peraturan Kapolri (Perkapolri) 8/2009 tentang Penggunaan Senjata Api. Dalam aturan tersebut dikatakan, petugas kepolisian dapat menggunakan senjata api, dalam situasi luar biasa. 

 

“Luar biasa tersebut, adalah situasi yang tidak dapat dihindari. Maka itu, bisa dilakukan pelumpuhan. Dan dalam situasi ini, senjata api sudah direbut, nah itu tidak ada yang keliru,” ujar Warasman.

 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement