Selasa 18 Jan 2022 17:35 WIB

Ahli: Daripada Polisi Tewas, Lebih Bagus Penjahat yang Mati

Kejadian yang terjadi di KM 50 tol Japek adalah serangkaian proses hukum resmi.

Rep: Bambang Noroyono/ Red: Agus Yulianto
Terdakwa kasus unlawfull killling atau pembunuhan Laskar Front Pembela Islam (FPI) yaitu Briptu Fikri Ramadhan usai menjalani sidang di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Foto:

 

Akan tetapi, istilah senjata api yang direbut oleh anggota laskar tersebut, diperdebatkan oleh jaksa pada sidang sebelumnya. Pekan lalu, JPU Paris Manalu, sempat mempertanyakan rangkaian kronologis peritiwa penyerangan, dan perebutan senjata api yang diduga dilakukan oleh empat Laskar FPI di dalam mobil kepolisian itu. Jaksa Paris, menanyakan itu kepada ahli INAFIS Bareskrim Polri, Eko Wahyu Bintoro yang turut dihadirkan ke persidangan, Selasa (4/1). 

Jaksa Paris menanyakan kepada Eko, tentang apakah rekonstruksi peristiwa KM 50 yang dilakukan kepolisian, adalah rangkaian kronologis peristiwa yang hanya bersumber dari keterangan para terdakwa yang turut dihadirkan ke persidangan. Yakni Britu Fikri, dan Ipda Yusmin. 

Selanjutnya, Jaksa Paris juga menanyakan kepada Eko, apakah dalam rekonstruksi tersebut, peristiwa perebutan senjata api itu, sudah berujung pada penguasaan senjata api dari tangan petugas, ke anggota laskar yang menjadi korban.

Menjawab itu, Eko mengungkapkan, rekonstruksi peristiwa memang bersumber dari pengakuan terdakwa Briptu Fikri, dan Ipda Yusmin. Sedangkan keterangan dari Ipda Elwira, tak dapat dilakukan karena sudah dinyatakan meninggal dunia, sebelum rekonstruksi dilakukan. 

Sedangkan, terkait dengan perebutan senjata api tersebut sudah berpindah tangan, Eko, pun mengatakan, dari rangkaian rekonstruksi, upaya perebutan senjata api dari tangan Briptu Fikri itu, tak berujung pada penguasaan senjata api oleh empat anggota laskar FPI.

“Jadi terkait foto-foto rekonstruksi tersebut, kami lakukan bersama-sama, berikut dengan keterangan dari tersangka yang melakukan kegiatan (pembunuhan) tersebut,” ujar Eko kepada majelis hakim, Selasa (4/1).

“Dari rekonstruksi itu prosesnya (senjata api) masih dipegang Briptu Fikri,” terang Eko menambahkan.

 

Pembunuhan enam anggota Laskar FPI, terjadi pada 7 Desember 2020 lalu. Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menyebut peristiwa itu, sebagai pelanggaran HAM, berupa unlawfull killing. Dalam persidangan kasus tersebut, Jaksa Penuntut Umum (JPU) menjerat dua terdakwa, Briptu Fikri, dan Ipda Yusmin dengan sangkaan Pasal 338 KUH Pidana, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana, dan Pasal 351 ayat (3) KUH Pidana, juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUH Pidana dengan ancaman penjara 7 sampai 15 tahun penjara.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement