Rabu 16 Nov 2022 14:04 WIB

IPB Usut Kasus Pinjol Mahasiswa, Rektor: Ada Dugaan Penipuan

Hingga saat ini sebanyak 116 mahasiswa IPB University menjadi korban pinjol.

Rep: Shabrina Zakaria/ Red: Agus Yulianto
Rektor IPB University Prof Arif Satria.
Foto: Dok IPB University
Rektor IPB University Prof Arif Satria.

REPUBLIKA.CO.ID, BOGOR -- Rektor IPB University, Arif Satria, mengundang para mahasiswa yang menjadi korban pinjaman online (pinjol) dalam usaha penjualan daring. Usai menggali informasi dari para mahasiswa, diduga ada unsur penipuan dengan modus baru pada kasus ini.

Dalam pertemuan yang dilaksanakan pada Selasa (15/11/2022) malam, turut hadir para dekan dan pejabat IPB University lainnya. Arif mengatakan, ia mengundang para mahasiswa yang menjadi korban kasus ini guna menggali informasi yang sebenarnya terjadi.

Baca Juga

Dia menyebutkan, hingga saat ini sebanyak 116 mahasiswa IPB University menjadi korban pinjol, dari total sekitar 311 korban lainnya. Dari hasil pertemuan tersebut didapatkan informasi bahwa mahasiswa IPB University yang terlibat merupakan korban dugaan penipuan transaksi pinjol. 

Arif pun menegaskan, pada kasus ini, tidak ada transaksi yang sifatnya individual yang dilakukan mahasiswa IPB University. Artinya, ini bukan kasus berupa mahasiswa IPB University yang membeli barang, kemudian tidak bisa bayar. 

"Namun, ini kasus yang diduga ada unsur penipuan dengan modus baru yang dilakukan oleh satu oknum yang sama, yang sudah kita identifikasi dan dilaporkan ke polisi,” ujarnya, Rabu (16/11/2022).

Arif menyatakan, secara institusi IPB University kini terus melakukan langkah koordinasi dengan berbagai pihak. Pihaknya pun telah berkoordinasi dengan kepolisian. 

“Para mahasiswa IPB University juga melakukan laporan kepada pihak kepolisian. Tentu dukungan kepolisian akan sangat penting untuk menyelesaikan kasus ini,” kata Arif.

Salah seorang mahasiswa IPB yang menjadi korban, AH (20 tahun), mengatakan, saat itu ia tengah mengikuti kepanitiaan sebuah acara di kampus. Ia pun diajak kakak seniornya dari kepanitiaan lain untuk bergabung di sebuah proyek.

Di mana proyek tersebut dilakukan untuk menaikkan rating toko yang dijalankan oleh terlapor. AH menyebutkan, terlapor memintanya mengaktifkan aplikasi pinjol, dengan iming-iming timbal balik 10 persen dari dana yang dipinjamkan.

“Contohnya dari saya sendiri, saya memberikan total pinjaman Rp 3 juta, saya sendiri dapat keuntungan Rp 300 ribu. Keuntungan itu niatnya untuk kepanitiaan kami. Kegiatan acara di kampus,” ungkapnya.

AH mengaku, dirinya berani ikut serta dalam proyek tersebut lantaran para seniornya sempat sudah bekerja sama dengan terlapor selama setahun tanpa kendala.

"Track record-nya selalu bagus. Angsuran selalu dibayar sama dia. Dia bertanggung jawab, makanya saya berani untuk ambil (proyek) ini,” tuturnya.

Lebih lanjut, AH mengatakan, pinjaman yang dilakukannya mulai berjalan sejak 11 Agustus 2022. Dengan total pinjaman sejumlah Rp 6,5 juta dan jatuh tempo setiap tanggal 25.

Namun, lambat laun terlapor malah mengulur dan menunda untuk membayarkan pinjaman yang dilakukan oleh AH dan teman-temannya. Padahal, para korban telah memberi kabar kepada terlapor sebelum jatuh tempo.

“Tanggal berikutnya pun sama selalu kayak begitu. Sampai sekarang pun. Dia bukan hilang, tapi selalu janji-janji, ngulur waktu begitu,” kata AH.

Hal serupa dirasakan oleh SNA (20), mahasiswi Fakultas Peternakan IPB University. SNA saat ini terjerat pinjol sebesar Rp 14 juta. Kisah yang dialami SNA pun hampir sama dengan AH, yakni tergiur keuntungan usaha bersama hingga terjerat pinjol.

“Dari acara IPB sendiri ada suatu kepanitiaan. Kita ada di diskusi yang melibatkan sponsor pinjol gitu. Terus ditawarin proyek sama kakak senior kita,” ucapnya.

Dari situ, lanjutnya, ia dan teman-temannya dikenalkan oleh terlapor dan bertemu. Oleh terlapor, SAN diminta membeli barang dari tokonya dengan menggunakan dana dari aplikasi pinjol.

Hingga saat ini, SAN sendiri mengaku belum membayar dana sebesar Rp 14 juta ke aplikasi pinjol tersebut. Kasus ini pun sudah diketahui oleh orangtuanya.

Saat ini, dirinya mengaku resah karena tidak tahu keberadaan terlapor untuk minta pertanggungjawaban. Sementara sudah ada debt collector yang terus menagih.

"Saya enggak tahu si A (terlapor) di mana. Tapi, masih bisa dihubungi oleh kita. Hanya debt collector tetap menagih, terus meneror lewat chat," ucapnya.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement