REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Sepanjang 2022 di Kabupaten Indramayu ada sekitar tujuh ribu janda baru imbas dari perceraian. Faktor ekonomi menjadi penyebab paling banyak dari 7.771 pasangan suami istri (pasutri) di Kabupaten Indramayu yang memutuskan berpisah.
Humas Pengadilan Agama (PA) Kabupaten Indramayu, Dindin Syarief Nurwahyudin, menyebutkan, dari 7.771 perkara perceraian itu, sebanyak 5.669 perkara merupakan cerai gugat atau yang diajukan oleh istri. Sedangkan sisanya, atau 2.102 perkara merupakan cerai talak atau yang diajukan oleh suami.
‘’Angka perceraian di Kabupaten Indramayu memang cukup tinggi. Ini harus jadi bahan perhatian semua pemangku kepentingan untuk menekan angka perceraian,’’ kata Dindin kepada Republika, Selasa (17/1/2023).
Dindin menyebutkan, angka perceraian di Kabupaten Indramayu itu menempati urutan nomor dua tertinggi di Jabar setelah Kabupaten Bogor. Sedangkan secara nasional, Kabupaten Indramayu menempati urutan keempat setelah Surabaya, Kabupaten Malang dan Kabupaten Bogor.
Dindin mengungkapkan, penyebab paling dominan dari perceraian di Kabupaten Indramayu itu karena faktor ekonomi. Menurutnya, faktor ekonomi yang rendah akhirnya memicu perselisihan di antara pasutri hingga berujung perceraian.
Selain itu, lanjut Dindin, ekonomi yang rendah juga mendorong salah satu pasangan, terutama istri, untuk bekerja ke luar negeri sebagai PMI. Meski secara ekonomi bisa menjadi solusi, namun keberangkatan istri ke luar negeri untuk bekerja dalam waktu lama akhirnya mengganggu ketahanan rumah tangga mereka.
‘’Ketika masyarakat berpikir bekerja ke luar negeri adalah solusi dalam rumah tangga, itu malah jadi bumerang. Ekonomi memang terpenuhi, tapi ketahanan rumah tangga jadi terganggu,’’ imbuh Dindin.
Dindin berkata, selain faktor ekonomi, penyebab terjadinya perceraian di antaranya juga karena kurang matangnya emosi pasutri dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Salah satu penyebabnya, karena usia mereka masih dibawah umur saat menjalani pernikahan.
Ia pun mengaku baru saja menyidangkan perkara pengajuan perceraian, di mana pemohon merupakan seorang istri yang masih berumur 19 tahun. Di usia yang masih belia itu, pengajuan perceraian tersebut bahkan merupakan yang kedua kalinya.
‘’Jadi di usia 19 tahun, dia sudah mengajukan dua kali cerai. Ini sangat memprihatinkan,’’ kata Dindin.
Si pemohon perkara perceraian itu ternyata dulunya melangsungkan pernikahan pertama dengan mengajukan dispensasi nikah. Setelah menjalani pernikahan beberapa tahun hingga akhirnya bercerai, pernikahan keduanya pun hanya bertahan enam bulan. Kini, pemohon tersebut bersikeras kembali mengajukan gugatan cerai.