Oleh : Taufik Nurrohim, S.Psi, Anggota DPRD Provinsi Jawa Barat-Fraksi PKB
REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Fenomena anak muda yang mengibarkan bendera One Piece menjelang 17 Agustus menarik untuk dibaca sebagai gejala sosial.
Banyak di antara Gen Z merasa lebih dekat dengan simbol bajak laut Topi Jerami milik Luffy ketimbang simbol formal politik atau bahkan bendera negara. Sekilas tampak remeh, tetapi di balik itu tersimpan tanda perubahan cara generasi muda memaknai perjuangan dan identitas.
Bendera One Piece bukan sekadar kain bergambar tengkorak. Ia adalah simbol solidaritas, kebebasan, dan persahabatan. Ia lahir dari kisah kru yang melawan ketidakadilan, memperjuangkan mimpi, dan menolak tunduk pada tirani.
Nilai-nilai itu terasa lebih hidup, lebih cair, dan lebih dekat dengan keseharian anak muda dibanding jargon formal kenegaraan.
Namun, di baliknya ada hal serius: kekosongan simbol ideologis. Ketika simbol negara dianggap terlalu jauh dari keseharian, anak muda mencari simbol alternatif yang bisa mereka rayakan.
One Piece menawarkan narasi perjuangan universal, lintas bangsa, lintas suku, bahkan lintas spesies, yang resonansinya tidak kalah kuat dengan narasi nasionalisme klasik.
Hal ini selaras dengan pemikiran Zygmunt Bauman tentang liquid modernity, bahwa identitas generasi muda hari ini cair, fleksibel, dan mencari rumah baru dalam simbol-simbol pop culture.
Merdeka di era globalisasi
Kemerdekaan kini tidak lagi hanya berarti bebas dari penjajahan fisik, melainkan juga dari kolonialisme gaya baru: budaya populer global yang deras mengisi ruang hidup kita. TikTok, K-Pop, anime, Marvel, Netflix, semua menjadi bagian dari imajinasi sehari-hari.
Kita menonton, menirukan, bahkan menjadikannya standar gaya hidup. Pertanyaannya, di mana ruang bagi identitas kita sendiri? Gen Z hidup dalam dua dunia sekaligus: dunia global yang cair tanpa batas, dan dunia lokal yang penuh akar sejarah.
Roland Robertson menyebutnya sebagai glocalization: perjumpaan antara arus global dengan lokalitas. Itulah sebabnya mereka bisa memakai sneakers global, tetapi tetap bangga dengan musik koplo, wayang, atau tradisi Nusantara.
Riset McKinsey (2019) menunjukkan, Gen Z lebih realistis tetapi sangat peduli pada isu keadilan sosial dan keberlanjutan. Dengan kata lain, di balik fandom dan tren pop, ada kebutuhan ideologis yang lebih dalam.
Merdeka, bagi mereka, bisa berarti menjadi fans BTS sekaligus bangga dengan Wali Songo; menikmati anime, tetapi tetap mencintai wayang; menonton Marvel, tapi sadar bahwa pahlawan sejati kita bernama Diponegoro, Cut Nyak Dien, dan Sisingamangaraja.
Identitas Indonesia bukanlah nostalgia kaku. Ia hidup, tumbuh, dan mampu bersaing. Korea berani mengusung Hallyu Wave, Jepang memasarkan anime sebagai identitas global.
Pertanyaannya: apakah kita sudah cukup percaya diri bahwa bahasa Indonesia itu keren, batik itu estetis, dan gotong royong itu nilai yang mampu menaklukkan dunia?
Merah Putih: Rumah ideologis kita
Kita tidak bisa menolak globalisasi. Generasi muda hidup dalam ekosistem digital tanpa batas, di mana budaya populer menjadi bahasa global. Henry Jenkins menyebutnya participatory culture: budaya di mana anak muda tidak hanya mengonsumsi, tetapi juga ikut memproduksi makna.
Namun, kita tidak boleh lupa, bendera Merah Putih tetaplah rumah ideologis kita bersama. Ia bukan sekadar kain merah dan putih, melainkan saksi darah dan nyawa para pahlawan.
Jika bendera One Piece bisa menyatukan fans di seluruh dunia, maka Merah Putih adalah bendera yang menyatukan 270 juta jiwa Indonesia, dari Sabang sampai Merauke. Fenomena ini sebaiknya tidak dicemooh, melainkan dijadikan jembatan dialog generasi.
Kita bisa katakan: silakan bangga dengan bendera Luffy sebagai simbol imajinasi dan solidaritas, tetapi jangan lupa bahwa Merah Putih adalah “jolly roger” sejati bangsa ini.
Kapal besar bernama Indonesia hanya bisa berlayar jika kita semua bersatu sebagai kru, menjaga layar tetap tegak, dan mengarahkan haluan menuju cita-cita adil dan makmur.
Pertempuran identitas hari ini
Merdeka berarti tidak menjadi konsumen buta globalisasi. Merdeka berarti berani mengambil posisi sebagai produsen budaya.
Jean Baudrillard melalui teori simulacra mengingatkan, di dunia digital, identitas seringkali hanya citra, bukan realitas. Tantangan Gen Z adalah bagaimana menciptakan citra Indonesia yang otentik sekaligus relevan secara global.
Gen Z Indonesia memiliki modal besar: kreativitas, teknologi, dan jejaring global. Bayangkan jika TikTok dipenuhi konten kreatif tentang sejarah Nusantara yang dikemas seru. Bayangkan bila game buatan Indonesia bisa sebesar Genshin Impact.
Bayangkan musik indie Indonesia menembus panggung dunia tanpa kehilangan rasa lokalnya.
Pada 17 Agustus ini, kemerdekaan kita diuji bukan dengan perang, melainkan dengan pertempuran identitas. Menjadi Indonesia hari ini bukan sekadar memasang bendera di bio media sosial, melainkan keberanian menciptakan karya global yang berakar lokal.
Nasionalisme gen Z
Dengan begitu, kemerdekaan hari ini tidak cukup dirayakan dengan nostalgia masa lalu, melainkan harus hidup dalam kreativitas anak muda. Merah Putih tetaplah pusat gravitasi, sementara simbol pop culture hanyalah metafora.
Riset Pew Research (2022) menunjukkan, Gen Z lebih banyak mendapatkan informasi dari TikTok, YouTube, dan Twitter/X dibandingkan media konvensional.
Itu berarti, nasionalisme harus hadir di ruang digital itu—dengan bahasa, simbol, dan narasi yang mereka pahami. Nasionalisme tidak lagi soal barisan formal, melainkan energi partisipatif yang lahir dari meme culture, fandom, dan jejaring digital.
Sesungguhnya, bangsa yang merdeka adalah bangsa yang tidak kehilangan jati dirinya meski dunia berubah. Dan Gen Z—dengan segala kreativitas, keberanian, dan imajinasi globalnya adalah ujung tombak agar Merah Putih tidak sekadar berkibar di tiang, tetapi juga di hati rakyatnya.
80 Tahun Indonesia Merdeka: Dari nostalgia ke aksi
Hari ini, ketika Indonesia memasuki usia 80 tahun kemerdekaan, kita tidak hanya diajak menunduk hormat kepada sejarah, tetapi juga menatap ke depan dengan penuh tanggung jawab.
Delapan dekade adalah usia kedewasaan sebuah bangsa: cukup panjang untuk belajar dari luka dan jatuh bangun sejarah, tetapi juga cukup matang untuk menentukan arah masa depan dengan percaya diri.
Bagi Gen Z, 80 tahun kemerdekaan adalah momen reflektif: apa arti merdeka di era kecerdasan buatan, globalisasi digital, dan krisis iklim?
Apakah merdeka sekadar upacara, atau keberanian memastikan bahwa setiap warga—dari desa sampai kota, pesisir hingga pegunungan—merasakan keadilan dan kesejahteraan?
Memaknai 80 tahun Indonesia merdeka berarti menjadikan Merah Putih bukan hanya simbol masa lalu, melainkan kompas masa depan. Sebuah janji bahwa perjuangan para pendahulu tidak berhenti di monumen, tetapi hidup dalam aksi nyata generasi hari ini.
Jika generasi 1945 bertempur dengan bambu runcing, maka generasi 2025 bertempur dengan kreativitas, inovasi, solidaritas, dan keberanian menjaga bumi serta kemanusiaan.
Pada akhirnya, pesan yang paling penting bagi Gen Z di usia 80 tahun Indonesia merdeka adalah ini: menjadi Indonesia bukanlah beban, melainkan kebanggaan. Merdeka adalah hak sekaligus tanggung jawab.
Dengan energi anak muda, bangsa ini tidak hanya akan bertahan, tetapi juga memberi arah bagi dunia.