REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU--Nasib pilu kembali dialami pekerja migran Indonesia (PMI) perempuan atau TKW asal Kabupaten Indramayu. Kali ini, kondisi itu dialami Lusita (28), yang selama sembilan tahun terakhir bekerja sebagai asisten rumah tangga (ART) di Singapura.
Perempuan asal Desa Loyang, Kecamatan Cikedung, Kabupaten Indramayu itu dipulangkan ke Tanah Air dalam kondisi depresi ringan. Ia pun hanya diberikan gaji oleh majikannya sebesar 1.000 Dolar Singapura atau sekitar Rp 12 juta.
Lusita diberangkatkan ke Singapura melalui salah satu perusahaan pengerah tenaga kerja yang beralamat di Grogol City, Jakarta Barat pada 2016. Saat itu, pihak perusahaan memanipulasi umur Lusita lima tahun lebih tua agar bisa berangkat menjadi PMI.
“Padahal, saat itu Lusita baru lulus SMA. Ia aslinya lahir 1997, tapi diubah menjadi 1992,” ujar Ketua DPC Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) Kabupaten Indramayu, Akhmad Jaenuri, Kamis (21/8/2025).
Sesampainya di Singapura, Lusita ditempatkan sebagai ART di salah satu rumah warga setempat. Sejak saat itu hingga sembilan tahun lamanya, ia hidup dalam keterbatasan komunikasi dengan keluarga.
Setiap bulan, majikan memaksa Lusita untuk menandatangani kuitansi penerimaan gaji. Namun kenyataannya, uang tersebut tidak pernah diberikan oleh majikannya.
Menurut Jaenuri, kondisi yang dialami Lusita baru terungkap pada Maret 2025. Saat itu, keluarganya di kampung halaman meminta gaji Lusita untuk membantu biaya sekolah adiknya.
Namun, sang majikan tidak pernah memberikan gaji sembilan tahun yang menjadi hak Lusita. Lebih parah lagi, pada Juli 2025, Lusita malah dibawa ke rumah sakit jiwa dalam keadaan tidak sadarkan diri oleh orang kepercayaan majikan.
Lusita dirawat selama satu bulan di rumah sakit jiwa itu tanpa penjelasan yang jelas mengenai kondisinya. Usai perawatan, pihak rumah sakit kemudian memulangkannya ke Indonesia.
Setibanya di Bandara Soekarno-Hatta, pada Kamis (14/8/2025), pihak Imigrasi lantas menghubungi keluarga Lusita untuk menjemputnya.
Jaenuri mengatakan, Lusita terindikasi kuat menjadi korban Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO). Ia pun menduga, Lusita sengaja dibuat mengalami depresi ringan karena pihak majikan tak sanggup membayar utuh gaji Lusita.
Ia menyebutkan, berdasarkan kontrak kerja, Lusita berhak memperoleh gaji sebesar 650 Dolar Singapura. Dengan masa kerja selama sembilan tahun, maka gaji yang semestinya diterima Lusita sekitar 70.200 Dolar Singapura atau Rp 888 juta. “Banyak kejadian seperti ini. Karena (majikan) tidak sanggup membayar gaji, jadi (pekerja) dibuat hilang ingatan atau dibuat depresi. Kemungkinan seperti itu,” katanya.
Untuk membantu Lusita, SBMI Indramayu sudah berkoordinasi dengan jaringan di Singapura untuk membantu melaporkan majikan dan agensi ke Ministry of Manpower (MOM) Singapura. Selain itu, mereka juga akan mengadukan masalah itu ke Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (KP2MI) maupun KBRI Singapura.
Sementara itu, Lusita mengaku tidak tahu kenapa didiagnosa mengalami depresi ringan hingga dirawat di rumah sakit jiwa. Ia saat itu sedang berada di dalam kamar rumah majikannya hingga kemudian ada orang kepercayaan majikannya yang membawanya ke rumah sakit jiwa di Singapura.
Dari situ, Lusita tidak ingat apapun lagi karena jatuh pingsan. “Aku juga gak tahu, cuma bangun-bangun sudah ada di rumah sakit, di sana tidur, makan, obat, cuma begitu,” kata Lusita.
Lusita mengungkapkan, majikannya selama ini bersikap baik dan tidak pernah melakukan kekerasan fisik terhadapnya. Ia pun bekerja dengan tenang tanpa ada beban pikiran yang membuatnya stres.
Tasriyah (52), ibu kandung Lusita, mengaku sangat sedih melihat kondisi yang dialami putrinya. Ia memastikan, sang putri dalam keadaan sehat saat berangkat kerja ke Singapura. “Gimana gak sedih, perginya sehat segar bugar, pulang dalam kondisi begini,” kata Tasriyah.
Tasriyah pun meminta ada keadilan untuk kesembuhan Lusita. Begitu pula dengan gaji yang menjadi hak putrinya itu.