Selasa 09 Sep 2025 21:34 WIB

DPRD Jabar Pertanyakan Program Jaminan Pekerja Informal

Alokasi Rp 60 M berpotensi jadi temuan BPK RI.

Rep: Muhammad Taufik/ Red: Dwi Murdaningsih
Anggota Komisi V DPRD Jabar dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) Maulana Yusuf Erwinsyah.
Foto: Istimewa
Anggota Komisi V DPRD Jabar dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) Maulana Yusuf Erwinsyah.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG — Kebijakan gubernur Jabar terkait program BPJS Ketenagakerjaan untuk pekerja informal  senilai Rp 60 miliar menuai kritik.  Sejumlah anggota DPRD Jabar menilai program tersebut berpotensi menjadi temuan BPK RI.

Anggota Komisi V DPRD Jabar dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa (FPKB) Maulana Yusuf Erwinsyah mengatakan skema dan efektivitas program tersebut belum terpapar dengan jelas. Hingga kini, pihaknya belum mendapat penjelasan detail terkait mekanisme seleksi dan kriteria warga yang berhak mendapatkan  program BPJS Ketenagakerjaan. 

 

“Selain itu, apa landasan hukumnya,” kata Maulana di Bandung, Senin (9/9/25). 

 

Dirinya mengatakan tanpa sebuah kejelasan maka program ini akan menjadi sebuah gimmick politik.

Ia menilai, penggunaan dana dalam bentuk premi asuransi memiliki karakteristik berbeda dengan tabungan. Begitu dibayarkan,sambung Maulana, dana tidak bisa dikembalikan ke kas daerah.

 

Maulana menjelaskan, program BPJS Ketenagakerjaan berbeda dengan program tabungan atau investasi. Pada program tabungan atau investasi, tutur dia, uang akan kembali jika tidak dimanfaatkan untuk klaim. Sementara program BPJS Ketenagakerjaan, lanjut dia, uang tidak akan kembali.

 

 ‘’Bukankah sayang Rp 60 miliar hanya menguap begitu saja?,’’ ujarnya. 

 

Sebagai alternatif, Maulana mendorong agar dana sebesar itu diarahkan pada program yang lebih efektif dan produktif. Misalnya, anggaran bisa disalurkan untuk program modal usaha bagi kelompok masyarakat. Dengan pemberian modal usaha, bisa menciptakan lapangan kerja baru dan mengurangi pengangguran.

 

Masih dikatakan Maulana, pergeseran anggaran yang dialokasiakan untuk program BPJS Ketenagakerjaan harus sesuai mekanisme perubahan APBD. Yakni, harus terlebih dulu melalui persetujuan DPRD. Jika tidak, kata dia, berpotensi menjadi temuan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI.

 

Maulana mengatakan, kebijakan pemerintah bukan hanya sekadar program yang viral di media sosial. “Kebijakan publik yang baik harus memiliki dasar hukum, tepat sasaran dan efektif bagi rakyat,’’ tuturnya.

 

Menurut Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Jabar Dedi Mulyadi, program BPJS Ketenagakerjaan ini sudah ada dari dua tahun lalu. Namun, sebut dia, nilainya sangat kecil yaitu masih di bawah Rp 2 miliar. 

 

“Sebelumnya program BPJS ketenagakerjaan ini sudah dilaksanakan untuk  nelayan, petani dan guru ngaji,’’ ucap  Dedi Mulyadi, kepada Republika.co.id, Senin (9/9/25) malam.  

 

Sekarang, tutur Dedi, ditambah  sasarannya yaitu driver ojek online dan pekerja informal lainnya. 

 

Terkait proses seleksi calon penerima manfaat, pihaknya memberikan tiga skema. Pertama, dari data kabupaten/kota, kedua data dari analisis kemiskinan yang dimiliki provinsi, dan yang ketiga melalui hotline yang sedang disiapkan.  

 

Adapun dasar hukum pelaksanaan program ini, lanjut Dedi, merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 45 Tahun 2015 tentang Jaminan Kecelakaan Kerja dan Kematian, Perda Jabar Nomor 5 Tahun 2023 tentang Perlindungan Tenaga Kerja melalui Jaminan Sosial Ketenagakerjaan, serta Permendagri Nomor 15 Tahun 2024 mengenai Pedoman Penyusunan APBD 2025. 

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement