Selasa 18 Nov 2025 21:11 WIB

Event Kreatif Kuliner Digelar di Bandung, tak Hanya Hadirkan Pangan Lokal Tapi Sarana Diplomasi Rasa

Perwakilan dari berbagai negara Asia-Afrika, termasuk delegasi dari Yamaguchi hadir

Event kreatif kuliner Bandung
Foto: Ilustrasi
Event kreatif kuliner Bandung

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG--Selain surganya kuliner, Kota Bandung telah lama dikenal sebagai kota kreatif. Karena, inovasi dan budaya terus mewarnai dalam keseharian kota kembang ini. Ragam inovasi kuliner pun, tumbuh subur di berbagai sudut kota. Yakni, dari café tematik di gang-gang kecil hingga restoran eksperimental. Di Bandung, kuliner bukan sekadar sajian, namun representasi pengetahuan, kebaruan, dan narasi budaya yang hidup.

"Jejak rasa dalam sepiring makanan membawa kita pada jejak bahan pangan, teknik memasak, hingga cerita komunitas yang melingkupinya. Dunia kuliner telah berkembang menjadi sebuah ekosistem yang dinamis dan penuh cerita," ujar Dosen Institut Teknologi Bandung, Agus S Ekomadyo, Selasa (18/11/2025).

Baca Juga

Menurut Agus, sejumlah kafe dan komunitas gastronomi mulai menelusuri asal-usul bahan pangan yang mereka gunakan. Yakni, dari mana datangnya, siapa yang menanam, hingga apa manfaatnya bagi tubuh dan lingkungan. Narasi ini kemudian diolah dan dimasukkan ke dalam setiap menu, menjadikan makanan bukan sekadar produk konsumsi, tetapi medium cerita.

Bahkan, kata dia, beberapa pelaku kuliner mulai menelusuri rantai nilai bahan pangan secara lebih mendalam, membuka ruang refleksi tentang keadilan, keberlanjutan, dan identitas lokal. Kuliner berkembang dari perhatian terhadap rasa rasa menjadi jejak pengetahuan dan komitmen terhadap masa depan yang lebih inklusif. "Food traceability tidak lagi sekadar soal pendataan asal-usul bahan pangan, tetapi tentang membangun cerita yang utuh tentang perjuangan suatu masyarakat," katanya.

Menurutnya, salah satu contoh nyata dari praktik inovasi budaya di Bandung adalah Pesuguhan. Yakni, sebuah event kreatif yang menjadikan kuliner sebagai medium diplomasi rasa. Di Pendopo Kota Bandung, bahan pangan lokal disajikan menjadi narasi yang menghubungkan jejak desa dan kota, produsen dan konsumen, tradisi dan eksperimen. "Pesuguhan menjadi ruang konkret di mana tantangan pangan ditelusuri melalui rasa, cerita, dan interaksi lintas komunitas, menjadi wadah untuk menyusun jejak pangan, dan merangkai relasi antar komuntas," katanya.

Pesuguhan 2025: A Sensoritual Gastrodiplomacy adalah perhelatan diplomasi budaya yang diselenggarakan Pemerintah Kota Bandung pada 17 Oktober 2025 di Pendopo Kota Bandung, sebagai respons terhadap fenomena “paceklik modern” dan dinamika global era VUCA.

Menurutnya, perwakilan dari berbagai negara Asia-Afrika, termasuk delegasi dari Yamaguchi University Jepang, berkumpul untuk bertukar gagasan seputar gastronomi dan budaya pangan. Pertemuan ini membuka ruang dialog antara tradisi kuliner Sunda dan perspektif Jepang, mempertemukan dua cara pandang dalam merespons tantangan pangan global.

Sebagai kelanjutan dari semangat Pesuguhan 2025, kata dia, akan dirancang sebuah event yang lebih kecil dan intim dengan menjadikan Café Temu Roti—salah satu inisiator utama Pesuguhan sebagai locus kegiatan. Event ini merupakan bagian dari Program Inovasi Seni Nusantara (PISN) yang digagas oleh Kementerian Sains, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia. Event yang akan direncanakan akan bertajuk “Seduh Keluh” di mana akademisi, media, dan pegiat budaya berkumpul.

"Sambil menyeduh minuman lokal, para pelaku inovasi akan berdiskusi, mengeluhkan rumitnya menciptakan kebaruan yang bisa masuk ke pasar. Diharapkan milieu inovasi berbasis kuliner dapat dirumuskan sebagai model inovasi budaya lewat interaksi cair di Temu Roti," katanya.

Event tersebut, kata dia, akan menggunakan konsep Konsep hybrid space yang menggabungkan pemikiran Representational Space dari Henri Lefebvre dan Hybrid Forum dari Actor-Network Theory. Ruang dipahami sebagai hasil produksi sosial—perpaduan antara ruang fisik dan ruang simbolik yang memuat narasi perjuangan manusia.

Hybrid space, kata dia, diturunkan dari gagasan forum hibrida, di mana demokrasi dibangun melalui interaksi mutual antara aktor manusia dan non-manusia, termasuk bahan pangan, alat masak, dan teknologi digital. Secara praktis, hybrid space bukanlah ruang canggih berbiaya tinggi seperti augmented reality atau digital twin, melainkan ruang keseharian yang menggabungkan pertemuan fisik—seperti diskusi kuliner di café—dengan dokumentasi digital yang sederhana, bisa direplikasi, dan dimanfaatkan untuk menyimpan pengetahuan tentang bahan makanan serta materi yang diperbincangkan.

Model hybrid space untuk narasi kuliner lokal, kata dia, diharapkan mampu mendorong lahirnya berbagai kegiatan inovasi dan kolaborasi berbasis budaya Nusantara. Narasi besar yang diangkat dalam diplomasi kuliner adalah pendekatan budaya sebagai jalan menuju inovasi—sebuah cara membumikan isu-isu kompleks seperti teknologi tinggi, riset, dan pengembangan yang seringkali membutuhkan investasi besar.

Melalui kegiatan budaya yang akrab dan membumi seperti cerita kuliner lokal, kata dia, gagasan tentang keberlanjutan, ketahanan pangan, dan teknologi dapat dipopulerkan secara lebih inklusif. Pendekatan budaya ini tidak hanya menghasilkan pengetahuan yang relevan, tetapi juga memberikan dampak ekonomi nyata bagi komunitas lokal, menjadikan inovasi sebagai bagian dari keseharian yang bisa diakses, dirasakan, dan dikembangkan bersama.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement

Rekomendasi

Advertisement