Senin 22 Feb 2021 17:03 WIB

Protes Kedelai Mahal, Produsen Tahu Tempe di Indramayu Mogok

Konsumen di wilayah Indramayu Kota kesulitan memperoleh tahu dan tempe.

Rep: Lilis Sri Handayani/ Red: Andri Saubani
Seorang pengrajin tahu tempe di Blok Bungkul, Kelurahan Bojongsari, Kecamatan/Kabupaten Indramayu menunjukkan rak tahu dan tempe yang kosong, Senin (22/2). Mereka memutuskan mogok tiga hari sebagai bentuk protes mahalnya harga kedelai.
Foto: Republika/Lilis Sri Handayani
Seorang pengrajin tahu tempe di Blok Bungkul, Kelurahan Bojongsari, Kecamatan/Kabupaten Indramayu menunjukkan rak tahu dan tempe yang kosong, Senin (22/2). Mereka memutuskan mogok tiga hari sebagai bentuk protes mahalnya harga kedelai.

REPUBLIKA.CO.ID, INDRAMAYU -- Puluhan produsen tahu dan tempe di sentra produksi tahu tempe Blok Bungkul, Kelurahan Bojongsari, Kecamatan/Kabupaten Indramayu, mogok produksi. Hal itu sebagai bentuk protes terhadap mahalnya harga kedelai impor.

Aksi mogok dimulai pada Senin (22/2) dan direncanakan hingga Rabu (24/2). Aksi tersebut membuat konsumen di wilayah Indramayu Kota kesulitan memperoleh tahu tempe.

Baca Juga

Salah seorang produsen tahu tempe, Roheti, menyebutkan, dalam kondisi normal, harga kedelai yang menjadi bahan baku tempe tahu hanya di kisaran Rp 6.000 per kg. Namun saat ini, harga kedelai melonjak menjadi Rp 10 ribu per kg.

"Kenaikan harga terjadi secara bertahap sejak empat bulan terakhir. Kenaikannya terjadi hampir setiap Minggu," keluh Roheti, saat ditemui Republika di tempat usaha pembuatan tahu tempe miliknya di Blok Bungkul, Senin (22/2).

 

Roheti mengatakan, kenaikan harga kedelai itu sangat memberatkan para produsen tahu dan tempe. Pasalnya, mereka sulit untuk menaikkan harga jual tahu dan tempe kepada konsumen.

Khusus untuk tempe, harga jual yang ditetapkan Roheti selama ini mencapai Rp 6.000 per kotak. Dengan harga kedelai yang melonjak hingga Rp 10 ribu per kg, maka dia mengalami kerugian jika tidak menaikkan harga jual tempenya.

"Kalau menaikkan harga jual tempe dan tahu, kasihan konsumen. Mereka juga protes. Tapi kalau tidak menaikkan harga, kami bisa terancam gulung tikar," tukas Roheti.

Roheti mengaku menjalankan usaha produksi tahu tempe secara turun temurun dari orang tuanya. Selama 15 tahun menjalankan usaha itu sendiri, baru kali ini dia mengalami kondisi yang paling parah.

"Sebelumnya juga pernah harga kedelai naik. Tapi biasanya hanya sekali waktu saja. Sedangkan ini harga naik setiap Minggu tanpa ada kepastian harga," cetus Roheti.

Roheti setiap hari membutuhkan kedelai sebanyak 3,5 kuintal untuk membuat tahu dan tempe. Kedelai itu diperolehnya dari pemasok yang mengirimkan barang tersebut ke rumahnya.

Hal senada diungkapkan seorang produsen tempe di Blok Bungkul, Sari. Dia mengaku sulit menjalankan usahanya jika harga kedelai terus naik, sementara harga jual tahu tempe tidak ikut naik.

"Dengan mogok produksi selama tiga hari, kami berharap konsumen memahami kesulitan yang kami alami," kata Sari.

Baik Sari maupun Roheti mengaku sangat tergantung dengan kedelai impor. Menurut mereka, kualitas kedelai impor lebih baik dibandingkan kedelai lokal.

"Kalau pakai kedelai lokal, hasilnya jadi kurang bagus. Kami malah rugi,'' kata Sari.

In Picture: Pabrik Tahu Mogok Produksi

photo
Pekerja merapikan peralatan produksi tahu saat berhenti beroperasi di kawasan Duren Tiga, Jakarta, Sabtu (2/1). Sebanyak 5.000 pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) yang tergabung Pusat Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Puskopti) DKI Jakarta menghentikan sementara proses produksi sebagai bentuk protes terhadap kenaikan harga bahan baku kedelai dari Rp7.200 menjadi Rp9.200 per kilogram. Republika/Putra M. Akbar - (Republika/Putra M. Akbar)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement