Jumat 09 Jul 2021 16:57 WIB

Pengusaha di Bandung Mengeluh, Aturan PPKM Darurat Ruwet

Pengusaha menanggung kerugian lebih besar akibat ambiguitas penerapan PPKM Darurat.

Rep: Arie Lukihardianti/ Red: Andri Saubani
Sejumlah remaja dan anak-anak bermain bola di salah satu ruas jalan yang ditutup saat PPKM Darurat di Jalan LRE Martadinata, Kota Bandung, Jumat (9/7). Di saat pandemi, demam pertandingan sepak bola Piala Eropa merambah semua lapisan masyarakat termasuk anak-anak dan remaja. Lengangnya ruas jalan yang ditutup dijadikan tempat untuk menyalurkan hasrat mereka bermain bola.
Foto: Edi Yusuf/Republika
Sejumlah remaja dan anak-anak bermain bola di salah satu ruas jalan yang ditutup saat PPKM Darurat di Jalan LRE Martadinata, Kota Bandung, Jumat (9/7). Di saat pandemi, demam pertandingan sepak bola Piala Eropa merambah semua lapisan masyarakat termasuk anak-anak dan remaja. Lengangnya ruas jalan yang ditutup dijadikan tempat untuk menyalurkan hasrat mereka bermain bola.

REPUBLIKA.CO.ID, BANDUNG -- Pelaku usaha yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mengeluhkan penerapan aturan PPKM Darurat yang dinilai masih berbeda-beda. Sehingga, para pengusaha harus menanggung kerugian lebih besar lagi.

Menurut Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jawa Barat Ning Wahyu Astutik, pihaknya menerima banyak keluhan dari anggota Apindo di berbagai daerah, terkait penerapan PPKM Darurat. Terutama pada tahap pelaksanan, yang dinilai berbeda antara aturan dan penerapan di lapangan.

Baca Juga

Ning mencontohkan, salah satunya lenerapan aturan 50 persen operasional di perusahaan esensial. Ternyata, karyawan yang hendak bekerja terkena penyekatan dan tidak bisa menembus sekat tersebut, jadi terpaksa balik kanan. Padahal karyawan tersebut sangat dibutuhkan kehadirannya di kantor.

"Ini terjadi di beberapa tempat misalnya di Depok dan Bogor. Jadi apa syarat mereka boleh melintasi sekat tersebut? Ini jadi ruwet, karena enggak diatur dengan jelas," ujae Ning Wahyu Astutik dalam keterangan resminya, Jumat (9/7).

Pengusaha, kata Ning, mengalami dampak lain dari PPKM ini terkait kesulitan pengusaha dalam mendapatkan material bahan baku, dikarenakan jalan-jalan disekat. Sehingga barang susah sampai on time karena mereka harus memutar. Hal ini, menjadikan harga bahan baku naik.

Ning menjelaskan, masih ada perbedaan persepsi atas aturan 50 persen Instruksi Mendagri No 18 tahun 2021. Di mana untuk poin e dapat beroperasi dengan kapasitas maksimal 50 persen staf hanya di fasilitas produksi/pabrik, serta 10 persen untuk pelayanan administrasi, perkantoran guna mendukung operasional.

Di sisi lain, kata dia, perusahaan melakukan sistem kerja shift dengan kapasitas 50 persen dan menerapkan prokes. Hal itu dilakukan karena banyak perusahaan yang harus mengejar pesanan ekspor agar mampu membayar gaji karyawan di tengah situasi sulit ini. Mereka pun sudah memiliki IOMKI dan masuk kategori perusahaan esensial.

"Bukankah dengan pembagian shift masing masing 50 persen, harusnya tidak menjadi masalah dikarenakan tidak terjadi kepadatan karyawan. Lagipula didalam instruksi Mendagri tersebut, tidak dituliskan adanya larangan diberlakukannya shift. Tetapi perusahaan ini disidak dan kemudian berurusan dengan hukum, seperti di Sukabumi," paparnya.

Menurutnya, Apindo menyimpulkan, bahwa masih terjadi ketidaksepahaman dalam menterjemahkan instruksi Mendagri secara lintas instansi dan lintas daerah. Sehingga, penerapan di lapangan berbeda dari satu dan lain daerah.

"Kami paham bahwa kondisi yang ada sekarang betul betul darurat, dan kami mendukung. Namun dalam pelaksanaannya mohon untuk dilakukan secara seragam dan tidak ambigu, sehingga jelas untuk para pemangku kepentingan," katanya.

Dengan semua kesulitan pengusaha ini, kata dia, pihaknya sudah seharusnya mendapatkan keringanan agar tidak semakin terpuruk. Diantaranya biaya listrik untuk shift malam dengan harga normal sebagai konsekuensi dari aturan PPKM ini.

 

photo
Kemenhub menerbitkan aturan perjalanan dan transportasi selama PPKM darurat - (Republika)

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
Advertisement
Advertisement