REPUBLIKA.CO.ID, GARUT -- Sebuah spanduk berukuran 1x4 meter terbentang di rumah makan ramen Ranjang 69 ++ di Jalan Cimanuk, Kecamatan Tarogong Kidul, Kabupaten Garut, Kamis (15/7) pagi. Spanduk itu berisi curahan hati (curhat) pemilik rumah makan tersebut lantaran penghasilannya merosot terdampak kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Darurat.
Namun, belakangan spanduk yang bertuliskan "Kami Terpaksa Tutup, karena Kebijakan Pemerintah dan Kami tak Dibiayai Pemerintah" itu dicopot oleh petugas. Alasannya, spanduk itu dinilai memprovokasi dan meresahkan.
Rizka Rahman Sidik (32 tahun), pemilik rumah makan tersebut menjelaskan, spanduk itu merupakan curhatnya sebagai pelaku usaha yang terdampak PPKM Darurat. Menurut dia, kebijakan PPKM Darurat membuat usahanya sementara waktu harus berhenti.
"Spanduk itu merupakan curhat saya," kata dia saat dihubungi Republika, Kamis sore.
Sebagai pelaku usaha, Rizka mengaku selalu mengikuti aturan pemerintah. Termasuk, aturan selama PPKM Darurat dilaksankan.
Sejak PPKM Darurat, rumah makannya tak menerima pelanggan yang ingin makan di tempat (dine in). Meski begitu, ia tetap membuka usahanya dengan tetap melayani pelanggan yang membawa pulang pesanannya atau take away.
Untuk meminimalisir biaya operasi, jumlah karyawan yang masuk dikurangi. Apabila dalam konidisi normal karyawannya berjumlah 14 orang, ketika PPKM Darurat hanya dua orang karyawannya yang masuk.
"Semua bergiliran masuk per harinya. Pekan lalu, kita masih buka menerima take away. Meski tak dapat pemasukan buat saya, tapi bisa membiayai operasional dan gaji karyawan," kata Rizka.
Ia mengungkapkan, pendapatannya pada hari-hari pertama PPKM Darurat dilaksanakan masih mencukupi untuk membiayai gaji karyawan secara harian dan operasional lainnya. Namun, ia mengaku hanya mendapat keuntungan sebesar Rp 2.500 pada hari pertama dan Rp 3.500 pada hari kedua.
"Enggak apa, yang penting karyawan saya dapat gaji," ujar dia.
Namun, semakin lama pesanan ke rumah makan yang menyediakan menu ramen itu semakin sepi. Menurut dia, berdasarkan pengakuan sejumlah konsumennya, mayoritas ojek daring atau ojek online (ojol) selalu membatalkan pesanan ke tempat itu.
Menerima keluhan dari konsumennya itu, Rizka mencoba mencari tahu kepada pengemudi ojol alasan membatalkan pesanan ke tempatnya. "Mereka beralasan akses susah. Karena jalan ke tempat saya ditutup, jadi harus memutar. Sementara mereka minta lebihan dari pembeli itu tak mungkin," kata dia.
Melihat pesanan yang semakin sepi, Rizka memutuskan menutup rumah makannya per Rabu (14/7). Ia pun berinisiatif membuat spanduk yang berisi curhatnya.
"Kemarin saya buat spanduknya, tadi pagi saya pasang, sambil melamun mikirin usaha saya," kata dia.
Setelah memasang sendiri spanduknya, Rizka keluar rumah untuk bertemu dengan temannya untuk satu urusan. Namun, tiba-tiba ia ditelpon oleh petugas dari kelurahan terkait pemasangan spanduk.
Ketika itu, lanjut dia, petugas kelurahan bersama Babinsa dan Bhabinkamtibmas sudah ada di rumah makan miliknya.
"Saya mendatangi mereka. Kita ngobrol. Petugas meminta spanduk itu diturunkan. Ditakutkan spanduk saya memprovokasi dan meresahkan," kata dia.
Rizka menjelaskan, spanduknya itu sama sekali tak bertujuan untuk menyudutkan, apalagi menyalahkan pemerintah. Spanduk itu hanya sebagai bentuk curhat.
"Kita ngobrol baik, akhirnya spanduk saya turunkan. Saya juga enggak mau berlawanan," kata dia.
Namun, ia ingin pemerintah juga mencari solusi terkait terdampaknya para pelaku usaha akibat kebijakan PPKM Darurat. Menurut dia, pelaku usaha yabg terdampak PPKM Darurat bukan hanya dirinya, tapi banyak juga yang lainnya.
Ia mengaku, selama ini belum pernah mendapat bantuan sejak pandemi Covid-19. Sementara pemerintah membatasi kegiatan usaha.
"Saya sebetulnya ikutin aturan. Tapi bantu kami. Kalau seperti ini, kita bingung. Harus take away, tapi akses ditutup. Bantu aksesnya harusnya," ujar dia.